SUARA INDONESIA

Mengenal Kiai Aji Samenan, Ulama Pantura Bangkalan yang Nikahi 'Bidadari'

Moh.Ridwan - 06 March 2024 | 09:03 - Dibaca 1.11k kali
News Mengenal Kiai Aji Samenan, Ulama Pantura Bangkalan yang Nikahi 'Bidadari'
Masjid dan cungkup makam Kiai Aji Samenan di Bangkalan. (Foto: Istimewa)

SUARA INDONESIA, BANGKALAN - Kiai Aji Samenan atau yang dikenal dengan nama Syekh Muzahid atau Zahid merupakan ulama dan tokoh masyarakat di wilayah pantai utara (pantura) Desa Larangan Sorjan, Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.

Sebutan Kiai memiliki beberapa arti. Sebutan Kiai merupakan sebutan tokoh yang sangat dihormati. Khusus di Madura, gelar kiai digunakan untuk menyebut tokoh berdarah biru. Baik tokoh di kalangan bangsawan tempo dulu, maupun tokoh yang alim di bidang agama.

Di kalangan keraton, penguasa yang menggunakan gelar kiai di jaman sebelum masuknya kolonial Belanda di antaranya, Kiai Demang Plakaran, Kiai Pragalba, Kiai Pratanu, dan lain-lain.

Sebutan Aji memang biasa dipakai bagi kalangan tokoh agama masa lampau di wilayah Madura Barat yang bermakna ahli mengaji atau 'Molang'. Kiai Aji merupakan kependekan dari seorang ulama yang menjadi guru mengaji.

Setelah Kiai Aji, biasanya disandingkan dengan tempat domisili tokoh yang dimaksud, seperti Kiai Aji Gunung berada di Gunung Sekar Sampang dan sebagainya. Kadang juga disandingkan dengan putra sulung yang bersangkutan, seperti Kiai Aji Selase berada di petapan Bangkalan dan Kiai Aji Samenan yang memang putra sulungnya bernama Samenan.

Kisah awal mula Kiai Aji Samenan menetap di desa ini belum diketahui secara pasti. Sebab, belum ada riwayat pasti dan nasab beliau secara tertulis. Namun, sebagian pitutur menyambungkan nasab dan leluhur beliau dengan Syekh Abu Samsukdin Bujuk Lattong Batu Ampar Pamekasan.

Ada juga yang menyambungkan dengan Sunan Muniron Arosbaya serta Sunan Cendana Kwanyar. Hal itu lumrah karena adanya banyak pertalian nasab para pendakwah dan penyebar agama Islam pada zaman dahulu.

Kiai Aji Samenan merupakan pendakwah di wilayah Pantai Utara diperkirakan era kerajaan Tjakraadiningrat. Hal itu diduga dari peninggalan berupa surau atau Langgar peninggalan beliau. Di atas surau juga terdapat lambang keraton yang juga digunakan oleh pembesar-pembesar kerajaan masa itu. Yaitu berbentuk bunga teratai yang melambangkan kebangsawanan di masanya.

Dalam sebuah kitab As-Samarqondi peninggalan Bindara Yasir disebutkan kalau beliau masih satu zaman dengan Kiai Aji Samenan dan Kiai Ko'ol yang ada di desa Ko'ol kecamatan Klampis kabupaten Bangkalan. Dahulu era Hindia Belanda, nama Klampis masih berbentuk desa di bawah Distrik Arosbaya yang artinya seluruh wilayah Klampis masih di bawah pemerintahan Arosbaya Regent Bangkalan.

Hal itu terungkap dalam isi tulisan Bindara Yasir yang masih bertetangga dengan Kiai Aji Samenan. Bahkan, berguru kepada keduanya. Meskipun tidak ada kepastian tahun yang menceritakan beliau hidup di zaman pemerintahan siapa. Kuat dugaan, beliau memang hidup di era Tjakraadiningrat. Sebab, tafsiran kitab yang ditulis tangan itu, tak lebih usianya dari 2,5 abad atau sekitar tahun 1700-an masehi.

Ada cerita pitutur tentang Kiai Aji Samenan. Semasa kecilnya, beliau merupakan seorang penggembala kambing. Kelebihannya, Aji Samenan kecil menggembala kambing-kambing itu dari jarak belasan kilometer sambil memegang tongkat untuk menjaga kambingnya.

Kini, petilasan tempat Aji Samenan duduk masih bisa dilihat dan disakralkan di desa Larangan Sorjan. Dari sini, bisa dipastikan beliau bukanlah pendatang di desa Larangan Sorjan, melainkan penduduk asli kampung Kosambi Rampak saat ini dikenal dengan dusun Birampak.

Melihat nama Kosambi, merupakan sebuah pohon tua yang kini sudah hampir punah. Pohon ini bisa hidup hingga usia ratusan tahun. Namun, di kampung Kosambi Rampak yang menjadi asal mula kampung ini tak lagi bisa terlihat pohon ini.

Sebutan Rampak, karena banyaknya pohon ini sehingga terlihat berjejeran di era itu. Keberadaan pohon Kosambi bisa ditemui juga di atas bukit Geger, tepatnya petilasan dan singgasana Bujuk Geger, kecamatan Geger kabupaten Bangkalan yang menjadi cerita awal kehidupan manusia di Madura.

Cerita lainnya, beliau pernah menikah dengan sosok bidadari. Sama halnya seperti cerita Jaka Tarub beliau dipercaya menjadi salah satu orang yang mempunyai cerita serupa. Meskipun, hal itu terasa aneh diterima akal pikiran. Bisa jadi, cerita itu bermakna kias yang ingin menunjukkan bahwasanya, istri dari Kiai Aji Samenan berparas cantik dan dari kalangan putri keraton. Ini yang disepakati oleh sejarawan soal istilah pernikahan dengan bidadari.

Selain itu, ada peninggalan berupa kitab-kitab dan selendang. Namun, sayangnya benda peninggalan sejarah tersebut hilang tak berbekas. Ada yang menyebut peninggalan itu telah dibakar oleh ahli waris yang memegangnya. Alasannya, karena tak ingin menjadi rebutan. Akan tetapi, ada foto kitab dan selendang pernah diabadikan di tahun 2000-an oleh pegawai museum Cakraningrat.

Kini, hanya pusaka keris dan sisa ornamen cungkup langgar yang masih tersisa. Warga setempat bergotong-royong untuk tetap melestarikan peninggalan leluhurnya. Keris peninggalan tersebut berupa keris berdapur Sempono biasa digunakan oleh para pendakwah.

Cerita lain mengenai kesaktian dan karomah Kiai Aji Samenan juga diceritakan oleh masyarakat setempat. Tidak ada orang yang akan berniat jahat di desa Larangan Sorjan kecuali akan ketahuan oleh masyarakat. Seperti kisah pencuri yang beberapa kali mengembalikan barang curiannya, karena mengaku sedang berada di tengah lautan.

Sampai kini, makam dan petilasannya pun tetap diziarahi masyarakat sekitar. Meski sejarah masih akan tetap menyisakan misteri. Namun, ketokohan dan teladan para pemimpin dan ulama terdahulu bisa dijadikan pelajaran bagi generasi milenial. Perjuangan mereka untuk bangsa dan agama akan terus dikenang sampai pada generasi berikutnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Moh.Ridwan
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV