SUARA INDONESIA, JAKARTA - Pemerintah Indonesia merencanakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini menimbulkan polemik, terutama bagi masyarakat kelas menengah, yang merupakan penopang utama perekonomian domestik. Apakah keputusan ini tepat, ataukah justru akan memperberat kondisi masyarakat? Berikut ulasannya.
Kenaikan tarif PPN bertujuan meningkatkan penerimaan negara untuk menutup defisit anggaran dan mendanai berbagai program pembangunan. Namun, langkah ini dikritik karena dianggap tidak memperhitungkan daya beli masyarakat yang menurun.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan konsumsi masyarakat triwulan-III 2024 hanya mencapai 4,91 persen secara tahunan. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih signifikan, yakni 53,08 persen. Namun, kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup menyebabkan masyarakat semakin hati-hati dalam pengeluaran mereka.
Kenaikan tarif PPN sebesar satu persen mungkin terdengar kecil, tetapi implikasinya besar. Ekonom Nailul Huda dari CELIOS memprediksi bahwa harga barang akan naik hingga sembilan persen, memengaruhi daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.
Kelas ini menyumbang sekitar 84 persen konsumsi nasional, sehingga penurunan daya beli mereka dapat berdampak luas pada sektor produksi dan industri.
Para pengamat mengusulkan agar pemerintah menunda kenaikan PPN hingga daya beli masyarakat pulih sepenuhnya. Ekonom Muhammad Faisal dari CORE Indonesia menyarankan kebijakan ini diterapkan ketika tingkat konsumsi kembali seperti sebelum pandemi.
Masyarakat telah mulai melakukan berbagai gerakan protes, seperti boikot belanja dan kampanye hidup hemat. Namun, langkah ini juga menuai kritik. Jika konsumsi lokal menurun drastis, pelaku usaha lokal akan terdampak, sehingga efek negatifnya kembali dirasakan masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menilai kenaikan PPN perlu dikaji ulang. Ia menekankan perlunya dialog intensif antara pemerintah dan dunia usaha untuk memastikan kebijakan yang lebih adil dan inklusif.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mungkin mampu meningkatkan penerimaan negara, tetapi risiko terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian nasional sangat besar.
Pemerintah perlu mempertimbangkan waktu yang tepat untuk menerapkan kebijakan ini, memastikan masyarakat kelas menengah tidak semakin terjepit. Optimalisasi penerimaan pajak dari sektor lain dapat menjadi solusi lebih bijak dibandingkan menaikkan PPN dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Aditya Mulawarman |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi