SUARA INDONESIA

Cukupi Kebutuhan Hidup, Trustono Raup Rejeki dengan Tekuni Seni Lukis Bakar atau Phyrograph 

Widiarto - 28 December 2021 | 12:12 - Dibaca 2.00k kali
Hiburan Cukupi Kebutuhan Hidup, Trustono Raup Rejeki dengan Tekuni Seni Lukis Bakar atau Phyrograph 
Trustoto Seniman Asal Desa Soko tekuni seni lukis bakar untuk bertahan hidup

 

PURWOREJO - Seniman mendapat pukulan berat dari situasi pandemi Covid-19. Terlebih, produk seni merupakan produk kebutuhan sekunder, sementara masyarakat kini masih lebih fokus memprioritaskan kebutuhan pokok sehari-hari untuk bertahan hidup. 

Salah satu seniman di Purworejo, Jawa Tengah, yang masih tekun dan bertahan dengan menekuni seni untuk menopang hidup itu yaitu Trustoto, warga Desa Soko Kecamatan Bagelen, yang menekuni seni lukis bakar atau phyrograph. 

Dengan menggunakan bahan dasar kayu Jati Belanda, Trustoto menyulap kayu tersebut menjadi hiasan dinding nan menawan. 

Toto menekuni seni lukis bakar belum lama, tepatnya ketika pandemi Covid-19 melanda dan dengan hebat menyasar sendi sendi perekonomian masyarakat. 

"Seni lukis bakar ini juga baru buat saya," ucap lelaki 48 tahun warga Dusun Soko Legok, RT 01 RW 03, Desa Soko, Kecamatan Bagelen ini. 

Bapak dua anak ini mengungkapkan, ide awal membuat Seni lukis bakar stelah banyak seniman merasa terjajah pandemi. Toto merasa tertantang untuk menjawab tantangan zaman dengan ketekunan. Keterampilan melukis di atas papan kayu juga didapat dengan penuh perjuangan, belajar secara otodidak, tidak mengunduh dari bangku sekolah. 

"Pandemi ini datang benar-benar seperti penjajah, khususnya bagi seniman seperti saya. Kami sulit bergerak, situasi sulit masyarakat tentu lebih banyak memikirkan kebutuhan pokok dibanding karya seni yang sejauh ini dikenal sebagai kebutuhan sekunder," ucapnya. 

Menurutnya, seorang seniman tidak bisa berhenti, harus berani mencoba hal hal baru ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan. Bahkan tidak sedikit yang kemudian menabrak pakem untuk mempertahankan eksistensi. 

Benar saja,  seni lukis bakar di desa Soko, bahkan di Kecamatan Bagelen atau lingkup Kabupaten Purworejo belum banyak, sekalipun ada masih bisa dihitung dengan jari. 

"Saya sampai saat ini juga masih berjuang untuk memasarkan hasil karya saya, meskipun sudah ada puluhan lukisan yang laku terjual, dan beberapa masih dalam proses pengerjaan untuk pesanan," ujarnya.

Pandemi membuat siapa saja harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup. Terlepas dari nama, kayu Jati Belanda dipilih bukan tanpa alasan. Jenis kayu ini dikenal memiliki kayu yang putih pualam, lebih artistik atau lebih jelas untuk media seni lukis bakar. Selain itu, kualitasnya juga cukup bagus, tahan dan tidak mudah pudar. 

Terlebih, kekuatan lukisan ini adalah bagaimana memunculkan gradasi warna putih dan hitam atau sisi gelap dan terang.  

"Ya, cuma dua warna itu, putih dan hitam, nah sisi yang terbakar hitam akan menjadi garis atau gurat wajah sosok tokoh yang dilukiskan," ucapnya. 

Sejauh ini, Toro sudah membuat puluhan karya, kebanyakan adalah sosok pahlawan dan tokoh nasional yang sarat sejarah dimasanya. Salah satunya Pangeran Diponegoro, tokoh pluralisme (Abdurrahman Wahid alias Gus Dur), Sang Proklamator  (Presiden Soekarno), dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Selain itu juga lukisan foto diri. 

"Tokoh nasional bisanya saya buat untuk dipajang dan diperjual belikan. Kalau pesanan biasanya foto diri. Waktu pengerjaan untuk satu lukisan sekitar 3 hari. Tergantung tingkat kerumitan dan ukuran," ucapnya. 

Harga bervariasi, sambung Toto, tergantung ukuran dan jenis kayu. Rata-rata ukuran yang dipesan 40 x 60 sentimeter dan 80 x 120 sentimeter. Kisaran harga mulai Rp 350 ribu hingga Rp 2 juta. Pembelinya tidak hanya lokal Purworejo, sebagian kuga dari luar kota. 

"Pernah dipesan orang Jakarta, Bengkulu. Belum lama ini pesanan dari Ngawi Jawa Timur untuk lukisan Habib Luthfi. Kalau lokal biasanya foto diri. Pemasaran selama pandemi lebih efektif lewat online, meskipun beberapa kali mendapat pesanan saat pameran," ucapnya. 

Ditanya kendala, Toto mengaku pemasaran menjadi masalah klasik bagi seniman. Bahan baku (Jati Belanda) juga masih harus didatangkan dari pengepul, untuk alat lukis ia membuat sendiri dan tergantung dengan listrik PLN. 

"Jadi ide awalnya muncul karena pandemi, cari inspirasi dan liat di Youtube. Setelah produksi sempat difasilitasi pemdes ikut pameran di Deskranasda Kabupaten Purworwjo. Saat ini menjadi pekerjaan pokok. Harapannya pandemi segera berlalu, karya ini semakin dikenal luas," ungkapnya.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Widiarto
Editor : Imam Hairon

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV