SUARA INDONESIA

Petani Bukan Wong Cilik, Mereka Adalah Tuan

Imam Hairon - 24 September 2020 | 19:09 - Dibaca 1.84k kali
Komunitas Petani Bukan Wong Cilik, Mereka Adalah Tuan
Biografi singkat Sukma Wati Patty, Ketua Rayon Hukum Universitas Pattimura

Oleh: Sukma Wati Patty

Apa yang pertama kali terbesit ketika mendengarkan kata Petani? Kuno, tidak sejahtera, bercocok tanam, ketidakadilan, kemiskinan, melarat, tentunya ada banyak hal yang terlintas ketika kita membicarakan soal petani entah itu terkesan problematik maupun terkesan baik-baik saja tanpa ada yang perlu dipermasalahkan.

Lalu siapakah sebenarnya petani itu, apakah ia adalah si puan dan tuan yang hanya bercocok tanam memegang cangkul saja, atau si dia yang hanya menunggu waktu kemenangannya “panen”, untuk kepala yang sempit seorang petani tentunya dikonotasikan dengan kesempitan nalarnya juga, ejek saja mereka korporat keparat atau penjahat neojahiliyah yang merampas tanah sana sini dengan tawaran segepok uang bernilai murah atau mereka si penanam modal yang lebih banyak bersepakat di atas rugi.

Petani si wong cilik, memang benar adanya tak harus kita tampikkan namun jika membaca satu pepatah arab mengatakan “Alfallaahu sayyidul bilaadi wa maalikuhul haqiqi” seorang petani adalah tuan dari sebuah Negara dan pemilik wilayah yang sesungguhnya. Jadi siapa raja atas tanah-tanah yang sering kali tergusur dan dirampas atau dibeli dengan harga murah? Iya, mereka adalah siapa lagi kalau bukan petani si wong cilik.

Meskipun selalu dikasihani dengan embel wong cilik agar yang keras hati batu di gedung menara gading sana tersentuh, toh mereka sering kali juga acap simpati tanpa berempati atau sekedar berjiwa altruis. Bahkan kadang yang suka menyatakan dirinya wong cilik ini datangnya dari mereka yang berdasi memangku kaki di gedung, itu bukan wong cilik tapi berotak kecil.

Di desa ku seorang bergelar Upu Latu (Raja) pun tetap bertani dan bahkan “beta” lebih mengakui jika para buyut adalah petani dibandingkan bergelar yang suka mengambil kebijakan, karena apalah artinya gelar dan jabatan tanpa dapat menghidupi dan mensejahterakan keluarga dan banyak orang.

Setiap tahun dalam balutan euforia dan simpati yang memang hanya rasa simpati sehari dikarenakan mereka pemerintah melupakan janjinya, setiap hari tani nasional 24 September tetap saja masih belum ada hasil yang di panen dari janji reforma agraria. Tembakau, padi, jagung, dan sayur mayur dipanen tapi janji tak kunjung di panen dengan gagalnya panen berupa banyaknya konflik agraria, karena bukan hanya teknologi maupun persoalan produksi dan modal saja namun lahan dan akses bertani adalah yang utama.

Sesat pikir terjadi jika menyepakati untung modal dan teknologi tapi tidak dengan akses berupa lahan, mungkin bisa meniru reforma agraria yang berhasil dilakukan oleh Jepang dengan pelaksanaan teknis berupa: adanya tenaga pelaksana yang jujur, tersedianya data/peta penguasaan dan pemilikan lahan yang lengkap, serta dukungan dana yang terus menerus. Dibutuhkan komitmen yang besar, Jepang saja bisa yah karena kita mengenal bangsa seperti apa mereka.

Bertani adalah bagian terpenting dari sebuah peradaban, salah satu faktor diakuinya peradaban besar di dunia adalah dikarenakan majunya pertanian. Sejarah panjang dari peradaban kuno, Mesopotamia, Mesir, hingga ke lembah peradaban Indus menceritakan tentang aktivitas bercocok tanam yang mereka lakukan.

Dengan hadirnya era globalisasi yang melahirkan semangat neoliberalisme berdampak besar terhadap kesejahteraan petani, jadi terkadang meskipun hidup dizaman modern dengan serba serbi revolusi, namun jika kehidupan dan kesejahteraan petani tidak terpenuhi maka bukankah bangsa ini lebih tertinggal dari peradaban kuno di masa lalu?

Alasannya jelas karena peradaban kuno di masa lalu menjadi besar oleh faktor pertaniannya dengan memanfaatkan tanah subur mereka di dekat lembah-lembah sungai, lalu tingkat kesejahteraan dan kemajuan pertanian luput di negeri ini begitu saja mengindikasikan statment di atas tidak sepenuhnya salah juga kok!

Tentang balada petani dan intrik aktivitasnya, tuan-tuan petani adalah mereka yang berhati besar untuk bangsa selain menghidupi keluarga mereka juga menghidupi negeri subur yang tidak tau kenapa banyak gusur ini, bernama Indonesia yang katanya negeri kolam susu tidak tau juga kolamnya masih berisi atau sudah kering.

Banyak yang mencari surga firdaus di bumi pertiwi untuk itulah banyak pemodal yang datang, sampai kebijakan ngawur kadang dibuat rasional saking mengejar yang bukan haknya. Tanah subur yang dirampas, hak petani yang dikikis, kesejahteraan sebatas ilusi tentunya melahirkan banyak tanda tanya apakah para petani hari ini hanya sekedar wong cilik yang butuh empati, bukankah mereka adalah tuan atas tanah subur untuk di tanami.

Perbedaan kelas sosial memang hanya memantik penindasan tanpa silih berganti kita benar-benar tidak bijaksana jika tak belajar dari sejarah mengenai segala bentuk penindasan, untuk itu para petani adalah mereka tuan-tuan atas tanah-tanah yang subur.

Di dalam Al-Quraan sendiri mendukung beberapa ayat-ayat tentang pertanian salah satunya adalah surah Yasin [36] ayat 33-35:

“dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. (33) dan kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, (34) supaya meraka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur (35).

Sungguh jika kita adalah bagian dari mereka yang berpikir maka ada banyak kuasa Allah yang menegaskan tentang pertanian dan tentunya ada pula posisi para petani tentang memanfaatkan tanah yang diciptakan oleh tangan mereka, oleh jerih payah mereka atas kuasa Allah dengan sebaik-baiknya, sehingga dari pada itu bisa dibayangkan mengenai realita hari ini yang terjadi jika tanah-tanah yang subur untuk bertani dirampas dan diekspoloitasi, apakah kita bukanlah golongan-golongan yang bersyukur akan nikmat tanah yang subur? dan sungguh Allah tidak menyukai mereka yang berlebih-lebihan.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Imam Hairon
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya