SUARA INDONESIA

AJI Jember Soroti Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual, Dinilai Belum Ramah Anak dan Berperspektif Korban

Fathur Rozi (Magang) - 30 September 2024 | 05:09 - Dibaca 499 kali
News AJI Jember Soroti Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual, Dinilai Belum Ramah Anak dan Berperspektif Korban
Suasana diskusi yang digelar oleh AJI Jember di salah satu kafe di Kecamatan Sumbersari, Sabtu 28 September 2024. (Foto: Fathur Rozi/Suara Indonesia)

SUARA INDONESIA, JEMBER – Praktik pemberitaan kasus kekerasan seksual di media massa dinilai masih belum ramah anak dan belum memiliki perspektif yang baik terhadap korban.

Dari beberapa berita yang tayang belakangan tentang perkara perkosaan siswi SMP di Kabupaten Jember, misalnya, ada sejumlah media yang masih menampakkan foto keluarga dekat korban. Hal ini membuat identitas korban rentan diketahui.

Padahal, berdasarkan kode etik jurnalistik, media massa tidak boleh menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan seksual. Termasuk pelaku maupun korban yang masih berusia anak.

Seperti menyebut semua data dan informasi menyangkut korban hingga memudahkan orang lain untuk melacak. Munculnya foto keluarga dekat pada kasus pemberitaan korban perkosaan di Jember, dinilai memungkinkan identitas korban dapat terlacak.

Tak hanya itu, dalam menjalankan tugas, jurnalis juga harus menempuh cara-cara yang profesional dengan menghormati hak privasi, serta menghormati pengalaman traumatik korban dalam penyajian berita.

“Contohnya penggunaan inisial pada nama korban, itu harus dilakukan. Meskipun korban meminta untuk disebutkan nama lengkapnya. Tujuannya untuk melindungi dirinya,” terang Rosnida Sari, Majelis Etik dan Peradilan Organisasi (MEPO) AJI Jember, saat menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh AJI Jember di salah satu kafe di Kecamatan Sumbersari, Jember, Jawa Timur, Sabtu 28 September 2024.

Selain itu, dalam sebuah pemberitaan kejahatan susila, hal-hal seperti nama, alamat, umur, atau keluarga korban serta pelaku yang merupakan orang dekat korban, perlu pula dirahasiakan. “Karena hal tersebut juga bisa mengarah pada identitas korban,” tambah dosen Universitas Jember (Unej) tersebut.

Menurut dia, dalam pemberitaan tidak diperkenankan memakai bahasa yang sifatnya menghakimi, atau menyalahkan korban. Selain itu, penggunaan kata korban perlu diganti menjadi penyintas. “Kecuali si korban belum melewati masa sulit tersebut,” jelasnya.

Di sisi lain, Rosnida menegaskan, yang tak kalah penting pada pemberitaan yang berbasis kekerasan seksual (KS), perlu mendapatkan persetujuan dari korban. “Kalau masih anak-anak, maka perlu persetujuan pihak keluarga, boleh tidaknya untuk diangkat ke media,” pungkasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Fathur Rozi (Magang)
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV