SUARA INDONESIA, SURABAYA - Ada yang beda di Kampung Ketandan hari itu. TPS 06 dan 07 di Balai Budaya Cak Markeso, Kelurahan Genteng, Surabaya, mendadak jadi sorotan dunia.
Delegasi dari 36 negara, dalam program "Election Visit Program - Indonesia's Simultaneous Regional Elections" EVP 2024, datang berbondong-bondong. Mereka ingin tahu, bagaimana Surabaya menjalankan demokrasi dengan gaya lokalnya yang khas.
Begitu sampai, suasana kampung langsung mencuri perhatian. TPS yang dihias dengan poster para pahlawan nasional, bak museum kecil sejarah, membuat delegasi berdecak kagum.
“Ini unik, sekaligus menggugah. Ada demokrasi yang berpadu dengan penghormatan pada sejarah,” ujar Mr. Azizkhon Adkhamov dari Uzbekistan.
Azizkhon dan rekannya, Mr. Anvar Ruziyef, bahkan sempat berbincang akrab dengan warga setempat. Mereka penasaran dengan cerita soal satu pasangan calon yang melawan kotak kosong dalam pemilihan Wali Kota Surabaya. “Ini fenomena yang jarang terjadi,” kata Ruziyef sambil tersenyum.
Tidak hanya itu, mereka juga heran ketika diberi tahu bahwa dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur kali ini, semua kandidat adalah perempuan. “Ini menarik, sekaligus menunjukkan peran besar perempuan dalam politik di Indonesia,” tambahnya.
Warga setempat menyambut mereka dengan ramah. Ada yang bercerita soal semangat gotong royong saat persiapan TPS. Ada pula yang bangga menunjukkan bagaimana logistik pemilu ditata rapi. Delegasi mencatat, bertanya, dan mengabadikan momen.
Komisioner KPU Jatim, Miltahur Rozaq, menjelaskan bahwa kunjungan ini memang diatur khusus agar para delegasi melihat langsung proses demokrasi Indonesia, khususnya di Jawa Timur.
“Kami ingin mereka melihat, bahwa pemilu di sini bukan sekadar mencoblos. Ini adalah momen besar bagi rakyat untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin terbaik,” ujarnya, Surabaya, Selasa (26/11/2024).
Di Ketandan, TPS tidak hanya tempat pemungutan suara. Ini juga panggung budaya dan sejarah. Poster pahlawan yang terpampang menjadi pengingat bahwa demokrasi hari ini berdiri di atas pengorbanan besar para pejuang masa lalu. “Surabaya adalah Kota Pahlawan, dan kami ingin semangat itu selalu hidup,” ujar Rozaq lagi.
Ketika delegasi melangkah pergi, mereka membawa sesuatu yang lebih dari sekadar catatan. Mereka membawa cerita tentang kota yang tidak hanya melaksanakan demokrasi, tetapi juga merayakannya dengan kebanggaan budaya dan sejarah.
Surabaya hari itu tidak hanya menjadi tuan rumah demokrasi, tetapi juga duta untuk menunjukkan wajah Indonesia yang plural, unik, dan penuh semangat. Kampung Ketandan membuktikan, bahwa TPS bukan sekadar tempat, tetapi simbol kehidupan berdemokrasi yang hidup dan bernyawa. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Dona Pramudya |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi