SUARA INDONESIA

Lakpesdam NU Sebut Perda Nomor 5 Tahun 2020 Pemerintah Bondowoso 'Injak' Pedagang Kecil

Bahrullah - 19 February 2021 | 18:02 - Dibaca 2.92k kali
Peristiwa Daerah Lakpesdam NU Sebut Perda Nomor 5 Tahun 2020 Pemerintah Bondowoso 'Injak' Pedagang Kecil
Miftahul Huda, Ketua Lakpesdam NU Bondowoso Bersama Gus Syaif Bin KH Muhammad Sidiq (Foto Instagram Miftahul Huda)

BONDOWOSO - Miftahul Huda, Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama atau Lakpesdam NU Bondowoso, menilai lahirnya Peraturan Daerah (perda) Nomor 5 Tahun 2020, Pemerintah Bondowoso 'menginjak' pedagang kecil dan berpihak kepada pemilik modal.

Miftah menegaskan, adanya perda tentang pembinaan dan penataan pasar rakyat, toko swalayan dan pusat perbelanjaan yang disahkan pada Juli 2020 lalu oleh Bupati dan DPRD Bondowoso itu, akan semakin membuka peluang kepada toko swalayan berjejaring untuk memperbanyak toko-tokonya, sehingga secara langsung akan berdampak terhadap pendapatan pedagang yang memiliki toko-toko kecil.

"Kalau hanya 50 meter, ngapain itu diatur membuat perda. Sekalian saja tidak usah ada jarak, jadi sekalian saja buat toko swalayan itu berdempet-dempetan kalau hanya jaraknya diatur 50 meter," kata Miftah pada media, Jumat (19/2/2020).

Lebih lanjut, Miftah mengatakan, semakin menjamurnya toko swalayan, maka toko-toko kecil pracangan semakin terhimpit, karena jarak tempuhnya yang sudah terlalu dekat.

Perda yang baru disahkan ini, kata Miftah, juga sangat mengiris rasa keadilan bagi masyarakat kecil pemilik toko pracangan dan kelontong, apalagi di saat pandemi saat ini, dimana daya beli masyarakat juga terpengaruh oleh Covid-19, kemudian pemerintah menyodorkan perda yang tidak berpihak.

"Kegagalan perda ini substansinya adalah memotong jarak dari 1000 meter menjadi 50 meter. Kenapa ?, karena pemotongan jarak yang sangat signifikan," ujarnya.


Mantan Ketua PC GP Ansor Bondowoso ini, menuturkan, bahwa Perda nomor 5 tahun 2020 juga sangat melukai rasa keadilan bagi masyarakat, karena adanya perda ini akan semakin membuka peluang kepada toko swalayan berjejaring untuk memperbanyak toko-tokonya, sehingga secara langsung akan mematikan secara berlahan terhadap ekonomi toko-toko kecil dan kelontongan.

"Jadi, semangat dari 1000 meter itu sebenarnya memproteksi toko-toko kecil. Kalau jarak 50 meter, maka makin kepepet masyarakat pemilik toko kecil, yang modalnya hanya satu juta, bahkan seratus ribu. Tak hanya itu, peluang masyarakat yang memiliki toko kecil untuk berjualan terus menerus juga semakin sempit," cetusnya.

Miftah mengaku, setelah membaca secara umum, bahwa substansi dari perda itu ada di pemotongan jarak.

Menurut Miftah, kalau memang perda ini melakukan pembelaan terhadap masyarakat kecil, seharusnya jarak itu jangan diubah-ubah, atau kalau perlu semakin dibuat jauh. 

Dia menghimbau, jika perda itu memang serius untuk membela masyarakat kecil, maka seharusnya jaraknya dibuat tetap 1000 meter, kemudian harus ada aturan secara ketat dengan memberikan kewajiban-kewajiban lain kepada toko swalayan, baru itu lah namanya membela pedagang kecil.

"Kalau pemangkasan 950 meter itu namanya bukan membela pedagang kecil, tapi membela toko swalayan, bahkan sangat membela terhadap keberadaan toko swalayan berjejaring. Kalau awalnya 1000 meter menjadi 5000 meter, nah itu baru membela, tapi kalau dari 1000 menjadi 500 meter itu bukan membela namanya, ini malah menginjak-injak pedagang kita, ini sungguh naif menurut saya," tuturnya.

Dia mengungkapkan, melihat keberadaan toko swalayan di Bondowoso bisa lihat sendiri, siapa yang terbanyak. Padahal di kabupaten lain melakukan pengetatan, khususnya terkait dengan jarak, tapi di Bondowoso malah dibuka.

"Dengan perda ini, maka pedagang kecil disuruh berhadapan langsung dengan pemilik modal besar, ia mereka keok pedagang kita, seharusnya itu diproteksi oleh pemerintah," sambungnya.

Menurutnya, yang perlu dipahami, siapa yang patut disalahkan dalam hal pembuatan perda ini adalah Pemerintah Bondowoso.

"Siapa pemerintahan Bondowoso, ia bupati dengan jajaranya dan DPRD, karena perda ini diputuskan bersama," sambungnya.

Dikatakannya, dalam persoalan perda ini jangan hanya menyalahkan bupati, namun DPRD juga harus bertanggung jawab, karena tanpa DPR, bupati tidak bisa mengubah atau membuat peraturan daerah, sehingga yang kita lihat, betapa pemerintahan Bondowoso sangat memihak kepada pemilik modal, khususnya toko swalayan.

"Menurut saya, di situ ketidak adilan dan ketidakmampuan pemerintahan Bondowoso dalam memproteksi masyarakatnya dari jeratan ekonomi global yang hanya dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang," pungkasnya.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Bahrullah
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV