SUARA INDONESIA

Terbengkalai dan Tidak Terawat, Stasiun Tempeh, Saksi Bisu Perkeretaapian di Lumajang

Ambang Hari Laksono - 30 July 2022 | 13:07 - Dibaca 5.64k kali
Sejarah Terbengkalai dan Tidak Terawat, Stasiun Tempeh, Saksi Bisu Perkeretaapian di Lumajang
Kondisi Stasiun Tempeh Saat Ini. (Foto : Wikipedia)

SUARA INDONESIA — Di sebuah dusun di Kabupaten Lumajang, terdapat sebuah bangunan yang memiliki nilai sejarah karena fungsinya yang cukup penting pada masa lalu dan usianya kini sudah cukup tua, yakni lebih dari satu abad dari tahun berdirinya.

Bangunan tersebut adalah Stasiun Tempeh (TPE) yang resmi berdiri pada tahun 1896 atau pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Lokasi tepatnya berada di Dusun Tulus Rejo 1, Desa Tempeh Lor, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, dengan ketinggian +93 meter di atas permukaan laut.

Posisi Stasiun Tempeh berada di sebelah rel kereta api yang menghubungkan stasiun ini dengan Stasiun Lumajang dan Stasiun Pasirian.

Stasiun Tempeh kini tergolong stasiun kereta api yang tidak aktif dan termasuk dalam Kawasan Perlindungan Aset Daop IX Jember.

Secara resmi, Stasiun Tempeh dibuka bersamaan dengan peresmian jalur KA Klakah-Lumajang-Pasirian pada tahun 1896 dengan nama sebelumnya Halte Tempeh. Saat masih aktif, stasiun ini melayani kedatangan kereta api dari Stasiun Lumajang dan Stasiun Pasirian serta mengurus keberangkatan kedua stasiun tersebut.

Sejak zaman Belanda hingga 1980-an, Stasiun Tempeh aktif mengoperasikan kereta api uap dengan mengandalkan kayu jati sebagai bahan bakar. Kemudian pada tahun 1982, dengan hadirnya kereta api bertenaga diesel, Stasiun Tempeh mulai beralih mengoperasikan kereta api bertenaga diesel. Beberapa bulan kemudian pengoperasian kereta uap dihentikan karena kereta api bertenaga diesel dinilai lebih ramah lingkungan dan lebih praktis.

Sekitar tahun 1988, kendaraan modern mulai bermunculan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Hal inilah yang mengakibatkan keberadaan kereta api saat itu menjadi kurang kompetitif. Dengan demikian, pada tahun 1988 semua jalur kereta api di Wilayah Lumajang, termasuk Wilayah Tempeh, ditutup. Sejak saat itu, Stasiun Tempeh resmi menjadi stasiun kereta api nonaktif.

Stasiun Tempeh kini menjadi aset PT Kereta Api Indonesia. Dari keseluruhan bangunan, keasliannya masih terjaga, namun kondisinya kurang terawat dan cukup banyak mengalami kerusakan.

Saat ini, bangunan Stasiun Tempeh hanya tinggal bangunan utama. Antara 1993 dan 2000, bangunan utama stasiun ini digunakan sebagai rumah burung walet. Selanjutnya, sekitar tahun 2013, teras bangunan Stasiun Tempe telah difungsikan sebagai taman belajar (PAUD) hingga saat ini.

Tidak banyak informasi yang bisa digali mengenai sejarah berdirinya Stasiun Tempeh. Ceritanya sudah terbengkalai, serta bangunan yang kurang mendapat perhatian dan cukup banyak mengalami kerusakan di beberapa bagian, terutama di ruang loket Stasiun Tempeh yang dulunya merupakan tempat pembelian tiket bagi calon penumpang kereta api. Selain itu, pada beberapa bagian dinding terdapat banyak coretan yang merusak pemandangan bangunan Stasiun Tempeh.

Hal seperti ini sebenarnya cukup disayangkan, mengingat bangunan ini dulunya memiliki nilai fungsi yang sangat penting terkait dengan kebutuhan transportasi masyarakat saat itu, baik sebagai transportasi ke tempat kerja dan sebagainya. Selain itu, berdasarkan usianya, seharusnya banyak cerita sejarah yang bisa ditulis dari bangunan ini. Namun, tidak banyak catatan yang berkaitan dengan bangunan ini. Banyak orang yang menyaksikan kisah perjalanan Stasiun Tempeh saat masih aktif telah meninggal dunia.

Namun, bangunan yang masih ada ini harus mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat untuk dilestarikan sebagai bangunan yang bernilai sejarah.

Perhatian lain juga dapat diberikan misalnya dengan pemeliharaan dan pemeliharaan gedung. Sementara itu, kisah-kisah yang tersisa juga harus disimpan sebagai catatan untuk mengabadikan sejarah Stasiun Tempeh ini.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Ambang Hari Laksono
Editor : Moh.Husnul Yaqin

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya