SUARA INDONESIA, MOJOKERTO - Di usianya yang ke-65, Juariyanto, seorang perajin sandal asal Dusun Karangnongko, Desa Mojoranu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, mengalami kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sabtu 13 Juli 2024, dia menjadi korban salah tangkap oleh petugas Satresnarkoba Polres Mojokerto Kota.
Hari itu, Juariyanto baru saja pulang setelah mengantarkan sandal ke daerah Surodinawan. Namun, di perjalanan, di bawah under pass Mojoranu, dia dicegat oleh tiga petugas berpakaian preman.
Tanpa banyak bicara, mereka memaksanya turun dari motor, memborgol tangannya, dan memaksa telungkup di atas aspal. Punggungnya diinjak hingga wajahnya mencium kerasnya permukaan jalan.
"Ketika diadang, tahu-tahu tangannya sudah di belakang dan diinjak petugas. Sempat diborgol dan kepala menggores di aspal," kenang Juariyanto dengan wajah penuh luka di pelipis kiri dan memar di punggung.
Dengan perlakuan kasar itu, Juariyanto dibawa ke kantor Satresnarkoba, meski akhirnya terbukti bahwa dia bukanlah pengedar narkoba seperti yang dituduhkan.
Setelah dibebaskan, Juariyanto bersama keluarga dan kuasa hukumnya, Jaka Prima, melaporkan kejadian ini ke Propram Polres Mojokerto Kota. Dalam pemeriksaan, Juariyanto mengaku masih merasakan sakit di area wajah dan punggung.
"Proses ini sesuai proses hukum yang berlaku. Sampai saat ini masih merasa kesakitan di punggung sehingga tidak bisa bekerja sejak peristiwa salah tangkap tersebut," jelas Jaka Prima, kuasa hukum Juariyanto.
Salah satu hal yang paling menyedihkan dari peristiwa ini adalah dampak psikologis yang dialami Juariyanto. Di hadapan warga yang menyaksikan peristiwa itu, Juariyanto diperlakukan layaknya seorang penjahat. Stigma sebagai pelaku kejahatan membuatnya merasa malu dan tertekan.
"Padahal, sejak kali pertama diadang petugas, korban sudah mengutarakan jika dirinya seorang tukang jahit yang baru saja mengantarkan garapan sandal di area Surodinawan," tambah Jaka.
Namun, hingga kini, petugas Propram belum menunjukkan sosok petugas yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Juariyanto. Pemeriksaan lanjutan masih diperlukan, termasuk mendengar kesaksian dari keluarga dan pemerintah desa setempat. "Sementara ini sudah disiapkan adik korban dan kepala desa sebagai saksi pendukung," kata Jaka.
Wakapolres Mojokerto Kota, Kompol Supriyono, menyatakan bahwa mereka masih harus berkoordinasi untuk menyelesaikan persoalan ini.
"Kami sedang berdialog dengan beberapa pihak untuk menyelesaikan persoalan ini," ujar Supriyono. Pemeriksaan tetap berlanjut sebagai dasar evaluasi terhadap anggota yang terlibat.
Kisah Juariyanto adalah salah satu contoh nyata bagaimana prosedur yang tidak tepat dapat menghancurkan kehidupan seseorang.
Harapannya, kejadian ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi pihak kepolisian untuk lebih berhati-hati dan manusiawi dalam menjalankan tugasnya. Juariyanto sendiri berharap keadilan dapat ditegakkan dan nama baiknya dipulihkan.
Kehidupan Juariyanto, seorang perajin sandal yang jujur, seharusnya tidak berakhir dengan ketidakadilan seperti ini. Ia hanya ingin hidup tenang dan terus bekerja untuk menghidupi keluarganya.
Kini, perjuangannya untuk mendapatkan keadilan masih terus berlanjut. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Mohamad Alawi |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi