TUBAN - Peneliti The Institute for Ecosoc Right, Sri Palupi menyatakan, penghapusan atau pencabutan atas layanan kesehatan gratis oleh pemerintah di tengah pandemi Covid-19 merupakan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM).
Belajar dari kasus Narti warga Tuban yang dinyatakan positif Covid-19 dan meminta pulang paksa. Serta tidak bisa menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membayar biaya perawatan. Karena rumah sakit menganggap ketika pulang paksa harus membayar secara pribadi.
"Soal kasus di Tuban ini bukan satu-satunya kasus yang terjadi. Dan ada 2 persoalan disini," jelas Sri Palupi dalam Diskusi HAM dan Pandemi Covid-19 yang digelar oleh Lambaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jumat (16/07/2021).
Pertama, Sri Palupi menyebut, ketidakjelasan informasi dan minimnya informasi oleh pemerintah mengenai Covid-19. Sehingga mereka memaksa untuk pulang, kalau ini sampai jual tanah dan bahkan ada yang meninggal karena pemaksaan pulang.
Kedua, tidak bisa digunakannya KIS ini masih masif terjadi, jangankan yang Covid-19 yang tidak pun banyak.
"Ini salah satu bentuk kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara, di masa pandemi justru bantuan kesehatan gratis dicabut," sebutnya.
Sri Palupi juga menemukan kasus, di daerah pedesaan temukan warga yang sakit, namun tidak menggunakan BPJS untuk berobat.
"Pihak desa ketika kita cek, (kenapa ini bisa terjadi?, tanya Sri Palupi). Rupanya memang sebagian dari penerima BPJS yang gratis ini dihapus, sehingga masyarakat kehilangan kesempatan berobat gratis. Paling parah lagi ketika mereka yang datang ke rumah sakit serta dengan kondisi parah itu tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan dan disuruh pulang karena BPJS sudah dicabut tadi," ujarnya.
"Ini termasuk pasien yang cuci darah, HIV Aids dan TBC. Dampak-dampak penolakan atau penghapusan subsidi atas layanan gratis ini bagian dari dua kejahatan," sambungnya.
Diantaranya adalah kejahatan ketidakberpihakan akses layanan gratis bagi mereka termarjinalkan. Dimana standar HAM yang diprioritaskan adalah mereka yang lemah dan miskin.
Kemudian kejahatan selanjutnya, masih Sri Palupi, tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat terkait pandemi Covid-19, tentang bagaimana masyarakat harus mengakses rumah sakit, dan bagaimana menangani jenazah Covid-19, sehingga tidak membawa pulang paksa jenazah.
"Informasi itu tidak ada sama sekali di tingkat pedesaan, bahkan di kota tidak ada pemahaman secara detail, apa yang harus dilakukan masyarakat di tengah situasi sulit," katanya.
Terakhir, Sri Palupi menyampaikan, bahwa negara hanya menegaskan pada penghukuman semata tanpa ada informasi yang memadai untuk masyarakat. Akses informasi inilah yang harus diberikan oleh negara kepada warganya untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Dia mencontohkan negara Thailand dalam upaya menekan penyebaran Covid-19 dengan memberikan informasi melalui pendekatan komunitas. Dimana kader-kader komunitas tersebut diberdayakan secara intensif untuk memberikan informasi tentang Covid-19 dan upaya-upaya untuk mencegah terinfeksi.
"Di daerah pedesaan, saya melihat kepala desa, BPD dan Satgas itu kesulitan untuk menjelaskan kepada warga. Karena tidak ada juga informasi yang mudah diserap oleh masyarakat pedesaan. Saya kira ini yang diabaikan, pengabaian hak atas informasi dan juga anggaran negara yang tidak berpihak pada pemenuhan HAM masyarakatnya terutama mereka yang rentan," pungkasnya. (Irq/Nang).
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : M. Efendi |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi