Begini Pandangan Empat Imam Mengenai Suami yang Hilang Tanpa Kabar
Redaksi
- 14 June 2022 | 19:06 - Dibaca 2.37k kali
Khazanah
Ilustrasi (Foto: Freepik)
JEMBER- Mafqud dalam istilah Fiqih berarti orang yang hilang tanpa ada kabar. Hingga tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Dan tidak diketahui pula keberadaan tempat ia tinggal atau dikuburkan.
Menanggapi perkara tersebut para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang bagiamana mengelola harta yang ditinggalkan serta apa yang harus dilakukan oleh seorang istri jika mengalami hal serupa.
Dikutip dari buku Fiqih 7 Madzhab karya Mahmud Syalthut ada empat alternatif yang bisa dilakukan atas harta serta istri yang ditinggalkan.
Pertama, menganggap seorang tersebut masih hidup, baik untuk harta ataupun istrinya. Dengan pendapat tersebut, maka status istri tidaklah hilang dari perempuan yang ditinggalkan suaminya tersebut. Sementara untuk hartanya masih lah hak miliknya hingga ada kabar atasnya dikemudian hari.
Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama Hanafiyyah dan Syafi'iyah, dengen begitu kedua hal tersebut bisa dihukumi jika telah mendapat kabar yang pasti atau dengan melihat teman sebayanya telah meninggal, pun bisa juga dengan menunggu hingga usia 70, 80 bahkan 120 tahun
Kedua, dianggap sudah mati, baik atas istri ataupun hartanya. Dengan demikian maka sang istri telah lepas dari ikatan pernikahan. Sedangkah untuk hartanya dibagikan kepada para ahli warisnya.
Menurut ulama Hanabilah, para Mafqud dianggap telah mati atas harta dan istrinya jika telah melalu kurun waktu tertentu. Adapun dasar pengambilan keputusan itu ialah demi kemaslahatan sang istri.
Ketiga, dianggap telah meninggal atas istrinya sehingga sang istri memiliki hak untuk lepas dari ikatan pernikahan ataupun memulai hubungan baru dengan orang lain. Sementara untuk hartanya dianggap masih hidup hingga ada kabar darinya.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ulama Malikiyyah. Hal tersebut ialah demi kemaslahatan sang istri yang ditinggalkan. Dan tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menganggap seorang masduq meninggal atas harta yang ia tinggalkan.
Keempat, kebalikan dari alternatif ketiga, yakni dianggap masih hidup atas istrinya sehingga sang istri tidak lepas dari ikatan pernikahan dan dianggap meninggal atas hartanya dan berhak dibagikan pada ahli warisnya.
Alternatif keempat ini, ialah tinjauan yang tidak memiliki kebutuhan lebih lanjut baik untuk menolak kemudharataan atau mengambil manfaat atas istri maupun hartanya. Karena dalam pendapat tersebut yang dipentingkan adalah urusan harta.
Padahal menurut pandangan syariat, perkara harta lebih ringan dari pada urusan istri. Selain itu, harta juga bisa dikelola dengan cara menunjuk wali sebagaimana yang berlaku pada harta orang-orang yang tidak mampu mengelolanya. (Ree)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta |
: Redaksi |
Editor |
: Imam Hairon |
Komentar & Reaksi