SUARA INDONESIA

Budayawan Bangkalan Nilai Carok Tak Lagi Relevan

Moh.Ridwan - 17 January 2024 | 13:01 - Dibaca 3.95k kali
News Budayawan Bangkalan Nilai Carok Tak Lagi Relevan
Ilustrasi dua orang sedang bertikai memakai celurit. (Istimewa)

SUARA INDONESIA, BANGKALAN – Peristiwa duel maut yang disebut ‘carok’ di Bangkalan, Jawa Timur, memantik perhatian Hidrochin Sabarudin, budayawan setempat. Dia menilai, tak lagi ada istilah ‘carok’ di zaman modern ini. Maknanya sudah hilang, hanya menyisakan kosakatanya saja.

Sebab, tak ada satu pun aturan adat yang dipakai dalam ‘carok’ pada era modern. Meskipun, seolah-olah pertikaian dan perkelahian yang terjadi pada persoalan dua orang diseret-seret kepada budaya carok.

Istilah carok sendiri akan menjadi seram, jika dimaknai secara berlebihan. Padahal, artinya sama dengan berkelahi menggunakan senjata tajam dengan satu lawan satu. Terutama dalam persoalan membela harga diri.

Menurutnya, carok zaman dahulu merupakan perbuatan yang ksatria yang menjadi adat masyarakat Madura. Tidak pada zaman ini, yang mengarah pada perbuatan kriminal. Apalagi, sampai menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam budaya carok ada persyaratan yang wajib dilakukan, sehingga dianggap sah secara adat. Di antaranya musyawarah atau peringatan sebanyak tiga kali kepada pihak yang dianggap bersalah, dilakukan di tempat sepi, sepengetahuan keluarga dan satu lawan satu.

Akan tetapi, dia menekankan, carok itu menjadi jalan terakhir ketika sudah tidak menemukan jalan keluar lain. Setelah semua persyaratan dilakukan, kedua belah pihak tak ada yang merasa dendam. Tidak seperti, carok pada era saat ini, yang justru melahirkan dendam berkepanjangan hingga anak keturunan.

Bahkan, carok yang awalnya untuk mempertahankan diri juga terinduksi. Bahkan, masalah sepele saja bisa menjadi alasan untuk melakukan pembunuhan. Akhirnya, carok bukan lagi sebuah 'entitas budaya', melainkan sebuah tindakan kriminal belaka.

Menurut Abah Doink, sapaan akrabnya, carok ini menjadi nilai tradisi budaya, karena pada zaman dahulu aturan belum mencengkram kuat pada semua lapisan strata sosial, sehingga hukum adat menjadi aturan bagi masyarakat Madura.

Kalau saat ini, tentu harus mengikuti aturan hukum bernegara. Orang yang bersalah harus dihukum sesuai aturan bernegara. “Carok yang terjadi pada zaman ini, tentu tak lagi relevan dengan kondisi masyarakat,” sebutnya.

Bagaimana untuk mengurangi bahkan menghilangkannya? “Pendidikan karakter dan agama harus lebih ditingkatkan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, tentu akan semakin membawa karakternya lebih baik. Apalagi, kita sudah punya kekuatan supremasi hukum bernegara dalam sosial masyarakat,” imbuhnya, Rabu (17/1/2024).

Suku Madura sejatinya dikenal agamis, sopan dan mandiri. Ketiganya juga bagian yang tak terpisah dari budaya masyarakat Madura. Kebaikan semacam itu harus dilestarikan. Sedangkan karakter keras dan teguh pendirian yang melekat pada masyarakat Madura harus mengarah pada perbuatan positif.

“Budaya akan terus berkembang. Pertahankan yang baik, tinggalkan yang buruk. Itulah sejatinya sebagai manusia beradab dan berperadaban,” pungkasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Moh.Ridwan
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV