SUARA INDONESIA, JOMBANG - Memasuki panen raya tembakau, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jombang mengeluhkan harga tembakau yang terus menurun. Salah satunya karena imbas pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Ketua APTI Jombang, Lasiman mengatakan, PP Kesehatan memperketat ruang gerak Industri Hasil Tembakau (IHT) alias rokok, terutama pengaturan zat adiktif pada Pasal 429–463.
Menurutnya, jika sektor hilir industri rokok terdampak berupa penurunan konsumsi rokok, otomatis sektor hulu alias pertanian tembakau juga terdampak, karena penyerapan hasil panen tembakau juga menurun dan berimbas pada turunnya harga.
”Saat ini sudah mulai terasa. Per kilogram rata-rata turun Rp 5 ribu. Meski hanya Rp 5 ribu, tapi itu dikali berapa kilogram,” katanya.
Lasiman menyatakan menolak PP 28/2024 tersebut. Karena nantinya akan berdampak pada petani tembakau. "Pada dasarnya harga komoditas tembakau memang fluktuatif setiap tahunnya, dan berbeda-beda di setiap sentra produksi," ungkapnya.
Dia menjelaskan, jika harganya turun saat masa panen, maka ada faktor lain. Dirinya mencatat, harga tembakau sedang baik sepanjang 2023, hingga sebelum terbitnya PP Kesehatan pada Juli 2024 lalu. Namun kini, harga tembakau di beberapa sentra produksi mengalami penurunan.
"Dengan keluarnya PP 28/2024 ini, ada penurunan. Kami juga mengkhawatirkan adanya anomali iklim tahun ini memasuki La Nina, jadi musim hujan lebih awal," jelasnya.
Lasiman mengungkapkan, untuk harga tembakau kering di salah satu sentra produksi, mengalami penurunan dari Rp 47 ribu hingga Rp 50 ribu per kilogram pada 2023, turun sekitar 10 persen menjadi kisaran Rp 38 ribu-Rp 40 ribu per kilogram.
Kata dia, selain regulasi, faktor lain yang memengaruhi harga tembakau adalah cuaca. Karena tahun ini akan mengalami fenomena La Nina sehingga musim hujan diprediksi maju pada September atau Oktober.
Musim hujan yang terlalu cepat ini, kata dia, akan berdampak pada panen tembakau. Sebab, berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, tembakau malah tumbuh sangat baik ketika musim kemarau.
"Mungkin itu salah satu indikasi penurunan harga dan dari segi kualitas menurun. Dan dari PP juga jadi isu juga," tutupnya.
Terpisah, Trimo, salah satu petani tembakau di Desa Jatibanjar, Kecamatan Ploso, mengaku sudah memanen tembakau. Kebanyakan petani setempat menjual daun basah, meski ada juga yang diproses sendiri atau tembakau janturan.
"Baru saja menjual hasil janturan kering harganya Rp 38.000 per kilogram. Daun janturan tahun lalu harganya sampai Rp 50.000 per kilogram,” ungkapnya.
Trimo menambahkan, untuk proses biasanya daun setelah dipetik membutuhkan waktu hampir 15 hari hingga siap dijual.
“Digantung tembakaunya selama 10 hari, baru kemudian dijemur selama 4 hari. Ketika daun sudah kering, baru dijual ke tengkulak. Semoga cuaca mendukung dan harga stabil," harapnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Gono Dwi Santoso |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi