Menyoal Pilkada Ditengah Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Konstitusional
Dr. Hartono
Dosen STAIS Kutai Timur
Direktur Esekutif Politica And Sosial Studies Institut (PSS Institute)
KUTAI TIMUR - Pemberitaan soal pelaksanaan pilkada yang telah diputuskan oleh pemerintah menjadi perhatian masyarakat luas. Salah satunya adalah Dr. Hartono
Dosen STAIS Kutai Timur sekaligus
Direktur Esekutif Politica And Sosial Studies Institut (PSS Institute). Pasalnya, pilkada akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal yakni 9 Desember 2020 yang berarti dilaksanakan ditengah pandemi. Seperti yang disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD dan Mendagri Tito Karnavian dengan catatan semua pihak musti taat dan patuh dengan protokol kesehatan.
Atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah, Menurut Dr Hartono, banyak bermunculan saran dan masukan dari berbagai kalangan, seperti dari PBNU, PP Muhammadiyah dan juga Budayawan Emha Ainun Najib atau yang sering disapa Cak Nun. Dimana kesemuanya menyarankan agar pilkada tahun ini ditunda terlebih dahulu dengan mempertimbangan aspek kesehatan masyarakat secara luas.
Lanjutnya, saran dari berbagai kalangan tentu sangat mempertimbangkan aspek mudhorot dan manfaatnya ketika pilkada tetap dijalankan saat ini. Sebab sampai saat ini, penyebaran kasus pandemi terus bergerak secara masif. Kekhawatiran berikutnya adalah, apakah bisa pemerintah mengawasi pergerakan masyarakat secara luas ketika perhelatan pilkada ini benar-benar dilaksanakan seperti yang telah diutarakan.
"Jangan sampai momentum pemilihan kepala daerah lima tahunan ini menumbuhkan klaster-klaster baru nantinya,"ujarnya.
Dr Hartono juga menyampaikan catatan krusial pilkada 2018 yang lalu ketika dilaksanakan secara serentak, banyak sekali petugas yang berguguran. Contoh ini menjadi keniscayaan bagi dirinya bahwa pelaksanaan pilkada dan menjaga masyarakat secara luas untuk tetap menikmati kesehatanya adalah sama-sama dilindungi konstitusional. Namun demikian, jika dilihat secara seksama maka jabatan-jabatan konstitusional yang ada setidaknya masih bisa di Plt, Pj dan PJs-kan sedangkan kesehatan masyarakat tidak bisa sama sekali diwakilkan.
Lebih jauh, dirinya juga menyebutkan bahwa dalam perspektif konstitusional hampir semua negara memiliki konstitusi, yang mengatur bukan saja struktur, fungsi dan pembagian kekuasaan berbagai organ Negara, sampai kepada hubungan di antara mereka satu sama lainnya. Konstitusi modern tidak hanya membatasi diri hanya kepada aspek itu saja. Namun juga memuat hak-hak dasar dan kebebasan rakyat yang dapat dituntut terhadap Negara dan organ-organnya. Mengingat pemerintahan secara universal telah diterima sebagai kebutuhan untuk mempertahankan satu masyarakat yang tertib, tetapi dia melahirkan masalah yaitu bagaimana membatasi kesewenang-wenangan yang melekat secara inheren dalam kekuasaan pemerintahan.
Dosen STAIS ini juga mengatakan bahwa perkembangan konstitusionalisme modern dewasa ini ditandai dengan konstitusionalisasi hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, dimana perlindungan dan jaminan terhadapnya menjadi tujuan yang paling pokok. Putusan-putusan yang paling penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) sebagian besar merupakan penyelesaian hak asasi manusia.
"Tugas-tugas ini merupakan hal yang sulit karena dalam setiap sengketa konstitusi di depan MK yang berkenaan dengan ketentuan HAM terdapat kemungkinan pertentangan ketentuan HAM yang satu dengan ketentuan HAM lainnya contohnya HAM Pilkada dan HAM mendapatkan jaminan kesehatan. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang demikian Mahkamah Konstitusi telah melakukan interpretasi dan konstruksi tentang teori hak-hak konstitusional dan hak asasi manusia, untuk membangun norma dan nilai-nilai dalam konstitusi itu sendiri,"jelasnya
Berdasarkan pemahaman konstitusi yang ada,imbuhnya, maka untuk meilihat dan mengambil kebijakan pelaksanaan pilkada ditengah pandemi saat ini, setidaknya dapat dilihat pada dua sudut pandang. Pertama, hak konstutusional dalam pilkada. Dalam Perppu No. 2 Tahun 2020 yang ditetapkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Pilkada Pasal 122A ayat (1) pelaksanaan pemungutan suara serentak dapat ditunda karena terjadi bencana non alam dan (2) penundaan pemilihan serentak lanjutan dapat dilakukan setelah penetapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU.
Ketentuan pelaksanaan pemilihan sebagai bentuk hak untuk memilih dan dipilih menjadi hak yang melekat pada setiap orang, kemudian untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan yang ada maka diperlukan regenerasi atau peralihan lima tahunan secara demokratis. Ketentuan ini menjadi absah dan mutlak dilakukan karena sesuai sesuai konstitusi/UU yang berlaku namun demikian tentu ada pengecualian manakala kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pilkada seperti bencana non alam; Kedua, hak konstitusioal mendapatkan kesehatan. Dalam UUD NKRI 1945 Amandemen ke IV Pasal 28H setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ketentuan UUD tersebut kemudian dilaksanakan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dirinya juga menegaskan bahwa hak atas kesehatan mempunyai ruang yang luas, tidak hanya menyangkut masalah individu, tetapi meliputi semua faktor yang memberi kontribusi terhadap yang sehat. Berdasarkan dalil tersebut maka menurutnya hak atas kesehatan begitu penting dan menyangkut banyak pihak terutama dimasa pandemi covid-19 saat ini, mustinya menjadi pertimbangan.
"Terakhir, dari dua perspektif diatas maka sudah semestinya pemerintah mampu menimbang dan mengambil keputusan yang tepat untuk kebaikan bersama, sudah semestinya pengambilan kebijakan dengan pendekatan kebijaksanaan adalah yang paling tepat,"tutupnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Imam Hairon |
Editor | : |
Komentar & Reaksi