SUARA INDONESIA

Prihatin Kekuasaan Tabrak Hukum, Lima Perguruan Tinggi di Banyuwangi Berkumpul Turut Nyatakan Sikap

Muhammad Nurul Yaqin - 07 February 2024 | 15:02 - Dibaca 1.27k kali
Politik Prihatin Kekuasaan Tabrak Hukum, Lima Perguruan Tinggi di Banyuwangi Berkumpul Turut Nyatakan Sikap
Pernyataan sikap dan seruan moral civitas akademika perguruan tinggi di Banyuwangi jelang Pemilu 2024. (Foto: Muhammad Nurul Yaqin/suaraindonesia.co.id).

SUARA INDONESIA, BANYUWANGI - Sebanyak lima perguruan tinggi di Banyuwangi, Jawa Timur, menyampaikan pernyataan sikap dan seruan moral mengawal demokrasi-konstitusi berkenaan kondisi politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.

Lima perguruan tinggi dimaksud adalah Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, Universitas PGRI Banyuwangi (Uniba), Politeknik Negeri Banyuwangi (Poliwangi), IAI Ibrahimy, dan STAI Darul Ulum (Staidu).

Perwakilan segenap civitas akademika perguruan tinggi di Banyuwangi itu berkumpul di halaman Kampus Untag Banyuwangi, Rabu (7/2/2024). Mereka dengan lantang menyerukan pernyataan sikapnya.

Pernyataan sikap dan seruan moral dibacakan oleh Dosen FISIP Untag Erna Agustina. Civitas academica perguruan tinggi Banyuwangi, seru dia,  merasa perlu ambil bagian penting proses pelaksanaan demokrasi, hukum, dan HAM di Indonesia.

"Demi terciptanya keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan hukum di Indonesia sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI. Hal ini tentu harus dilakukan, mengingat perguruan tinggi adalah bagian penting sejarah panjang penegakan demokrasi di Indonesia hingga saat ini," terang dia.

Menurut Erna, politik harus tunduk pada hukum. Namun, pihaknya menganggap, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Kekuasaan telah mengabaikan aturan hukum dan etika.

"Berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi sampai dengan putusan DKPP yang seluruhnya menyatakan adanya pelanggaran etika berat dalam pelaksanaan hukum pada tahapan Pemilu 2024, inkonsistensi presiden dalam pernyataan dan sikap, gejala politisasi ASN dan aparat negara yang lain untuk memenangkan pasangan tertentu, gejala intimidasi oleh aparat negara, hingga politisasi bantuan sosial," ujarnya.

Hal-hal tersebut menimbulkan keprihatinan bagi para civitas academica yang menggelar aksi. Menurut mereka, kehidupan berbangsa dan bernegara tengah terdegradasi.

"Nilai fundamental etika keadaban publik dilanggar dalam proses demokrasi sehingga mengkhawatirkan masa depan demokrasi Indonesia," tuturnya.

Para civitas academica menyampaikan beberapa pernyataan tujuh pernyataan sikap. Pertama, mereka menuntut Presiden menghentikan segala perbuatan yang dianggap dilakukan dan didasarkan atas kepentingan pribadi dengan memanfaatkan alat-alat serta sumber daya negara.

"Kedua, menuntut Presiden memastikan netralitas penyelenggara negara, baik Aparatur Sipil Negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) maupun penyelenggara negara yang lain serta harus memberikan teladan terbaik," terangnya.

Ketiga, mereka menuntut kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui pemilihan umum, dijalankan tanpa intimidasi dan intervensi dari alat kekuasaan negara.

Keempat, mereka juga meminta seluruh jajaran kabinet yang terlibat secara langsung dalam pemilihan umum untuk tidak menggunakan alat kuasanya dalam rangka mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Kelima, mengajak seluruh aparatur sipil negara baik ditingkat pusat, maupun yang berada di tingkat daerah untuk menjaga netralitas selama pelaksanaan pemilu," ucapnya.

Keenam, mereka juga menuntut segera dilakukan revisi Undang-Undang Pemilu yang berkaitan dengan keterlibatan presiden dan alat kuasa lainnya secara langsung dalam pemilu.

"Mengingat presiden sebagai pimpinan tertinggi tentu dapat menggerakkan alat kuasanya untuk melanggengkan kepentingan pribadi yang dinilai mencederai nilai reformasi dan konstitusi," sambung dia.

Terakhir, mereka mengajak seluruh elemen masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif akan kebutuhan memperbaiki tatanan demokrasi dan koridor konstitusi di Indonesia.

"Pernyataan sikap dan seruan moral ini merupakan bentuk keprihatinan kami terhadap kondisi demokrasi di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang kami nilai banyak bertentangan dengan Proklamasi Kemerdekaan RI dan semangat reformasi," tandasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Muhammad Nurul Yaqin
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV