SUARA INDONESIA

Protes Koalisi Masyarakat Sipil, Tolak Nikel Kotor dan Dampak Buruk Pertambangan di Indonesia

Aditya Mulawarman - 16 June 2024 | 07:06 - Dibaca 877 kali
News Protes Koalisi Masyarakat Sipil, Tolak Nikel Kotor dan Dampak Buruk Pertambangan di Indonesia
Protes Koalisi Masyarakat Sipil untuk Nikel Kotor. (VOA Indonesia)

SUARA INDONESIA, JAKARTA - Raut kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas di wajah puluhan orang dari Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), serta masyarakat dari Sulawesi dan Maluku Utara.

Mereka rela menempuh perjalanan jauh ke Jakarta untuk menggelar aksi protes pada acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2024 yang diadakan di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, dari 11 hingga 13 Juni 2024.

Dalam aksinya pada Kamis (13/6), mereka menyerukan penyelenggara untuk menghentikan kegiatan eksplorasi pertambangan yang telah berdampak sangat buruk terhadap lingkungan dan mata pencaharian warga yang tinggal di kawasan sekitar tambang.

Mereka mengimbau dunia untuk tidak membeli apa yang mereka sebut sebagai "nikel kotor" dari Indonesia.

Wilman, salah satu pemuda dari Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel yang selalu diagung-agungkan oleh pemerintah justru menyebabkan beban berat bagi masyarakat.

Penambangan nikel menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan bencana alam. Setidaknya 5.000 warga dari 10 desa di Pulau Wawonii terdampak dalam beberapa waktu terakhir.

"Yang pertama dia ciptakan itu konflik sosial dulu, kemudian terjadi polarisasi antara pro dan kontra. Setelah melakukan penggalian nikel dan penebangan pohon, bencana selanjutnya adalah banjir, kekeringan, dan krisis air bersih," ungkap Wilman.

Masyarakat di Pulau Wawonii yang sebelumnya menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perikanan, kini tidak bisa lagi merasakan hasil yang memuaskan dari kedua sektor tersebut.

Meski telah memenangkan gugatan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, aktivitas perusahaan tambang tidak kunjung dihentikan.

Bahkan, perusahaan semakin brutal dan terus menerobos lahan pertanian warga.

Wilman menambahkan, laporan masyarakat terkait penerobosan lahan oleh perusahaan tambang tidak diproses oleh kepolisian.

Sebaliknya, warga yang melawan sering kali dikriminalisasi. Ia berharap pemerintah segera menghentikan aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel karena tidak ada manfaatnya bagi masyarakat sekitar tambang.

“Yang kami dapatkan hanya kehancuran, hanya kemiskinan yang akan terjadi, bahkan akan terjadi kemiskinan berkepanjangan dan kerusakan lingkungan yang berkepanjangan,” tegasnya.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Kebijakan JATAM, menyatakan bahwa ambisi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik sebagai solusi memerangi krisis iklim adalah sebuah kekeliruan.

Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia, dieksplorasi secara besar-besaran, menyebabkan beban berat bagi masyarakat sekitar.

“Ini adalah sebuah daya rusak turunan dari ketika solusi perubahan iklim ditafsirkan keliru menjadi kuantifikasi dan akal-akalan finansial,” ungkap Jamil.

Jika eksplorasi nikel terus dilakukan, Indonesia berada dalam bahaya karena cadangan nikel umumnya terpusat di wilayah pesisir dan pulau kecil seperti Sulawesi dan Maluku.

Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memahami kemarahan masyarakat yang berada di lingkar tambang.

Menurutnya, meskipun masyarakat telah memenangkan gugatan di pengadilan, kekuatan hukum tersebut tidak berarti bagi mereka. Pemerintah seharusnya melaksanakan perintah pengadilan dan tidak terus-menerus melanggar.

“Dalam konteks negara hukum, ini adalah situasi di mana negara melakukan pelanggaran hukum dan korupsi secara langsung,” ungkap Isnur.

Ia menambahkan, jika jalur hukum tidak ampuh lagi, warga berhak mempertahankan haknya dengan cara apa pun, meskipun risiko untuk dikriminalisasi cukup besar.

Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan hilirisasi nikel dan mendengarkan keluhan masyarakat terdampak agar keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan kelestarian lingkungan dapat terjaga. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Aditya Mulawarman
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya