SUARA INDONESIA, JEMBER - Hari ini kepekaan mahasiswa terhadap permasalahan sosial ataupun kampus mulai menurun. Bahkan, beberapa dari mereka hanya sekadar kuliah, belajar dan lulus.
Jika kita telisik, kurang lebih dalam lima tahun terakhir ini, jarang terlihat mahasiswa bersuara untuk menyampaikan aspirasinya. Meski itu menyangkut kepentingan mereka.
Salah satu contoh, ketika Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) mengalami kenaikan, hanya segelintir mahasiswa yang berekspresi menyodorkan pendapatnya.
"Apakah dalam kasus tersebut ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membungkam. Ataukah mahasiswa memiliki kepentingan seperti nilai dan sebagainya?" ujar Zumrotun Solichah, pewarta anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember.
Hal itu disampaikan Zicha, sapaan akrabnya, saat mengisi materi pada agenda diskusi bertema "Melawan Komersialisasi Kampus Menolak Pendidikan Mahal". Diskusi itu bertempat di Taman Edukasi Kebangsaan Universitas Jember, Kelurahan Tegalgede, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur, akhir pecan kemarin.
Berbeda dengan masa reformasi sebelum tahun 1999, terdapat isu sedikit mahasiswa beramai-ramai turun ke jalan. Tentu, kata dia, hal ini perlu diperhatikan oleh calon mahasiswa. Karena selain belajar, mahasiswa adalah agent of change, yang seharusnya berani bersuara.
"Kemudian, menciptakan gerakan-gerakan kecil yang dapat menyampaikan keluhan masyarakat, serta melindunginya," pungkas mantan aktivis mahasiswa tersebut.
Pembicara lainnya, Eko Prasetyo, Direktur Social Movement Institute yang sekaligus penulis buku, mengatakan, ketika mahasiswa tidak melakukan aksi atau demo, itu aneh.
"Apakah kalian tidak merasa ada masalah. Kalau kalian merasa aman-aman saja dan tidak ada protes atas kuliah mahal, dramatis sekali hidup kalian. Kalian ini keponakannya rektor jangan-jangan, atau temannya Gibran. Karena dia nggak suka demo, kecuali demo makan siang sama susu gratis," sindirnya, sambil bercanda.
Baginya, adanya UKT mahal, menyebabkan seseorang yang pikirannya selalu untung rugi, pragmatis, dan lama-kelamaan menjadi oportunis. Sehingga menganggap aksi turun ke jalan tidak penting dan tak perlu dilakukan.
"Ngapain demo, yang penting kuliah cepat, nikah, keluarga sakinah, punya anak, mati masuk surga. Ya Allah, hidupnya ngeri sekali menurut saya," ucapnya.
Artinya, kampus hari ini adalah dunia yang penuh dengan penghinaan atas akal sehat. Apabila kampus telah melenyapkan akal sehat, maka dirinya akan terkunci dari problem yang bersifat kemanusiaan.
Sebab itu, dirinya menyarankan tiga hal. Pertama, agar mahasiswa mewujudkan tradisi literasi, sehingga tumbuh budaya intelektual. Kedua, mengikuti organisasi untuk mendorong serius dan kepekaan.
Ketiga, melakukan perlawanan pada semua bentuk praktek hidup non egaliter dan diskriminatif. "Hanya dengan itu, api gerakan mahasiswa dapat muncul kembali," tambahnya.
Selain itu, dirinya juga menyarankan beberapa buku yang perlu dibaca. Seperti Das Kapital yang ditulis Karl Marx dan Indonesia Menggugat karya Soekarno, yang menurutnya penting.
"Saya pula merekomendasikan Bangkitlah Gerakan Mahasiswa dan Bergeraklah Mahasiswa yang saya tulis, untuk memberikan motivasi dalam mendorong ruang gerakan mahasiswa," tandasnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Tamara F |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi