JAKARTA- Kritik dan keprihatinan berdatangan terhadap manajemen Holywings, saat membuat promosi minuman beralkohol gratis bagi mereka yang bernama Muhammad dan Maria.
Menurut Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, dalam negara demokrasi yang liberal, sah-sah saja mengungkapkan ekspresi. Namun dalam konteks Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan beragam agama dan suku bangsa, menghina agama sangatlah tidak pantas.
“Kita bisa bercanda mengenai apa saja di alam demokrasi ini, tapi persoalan agama bukan hal bisa dibuat bercanda. Pertama itu adalah soal keyakinan, dan kedua soal hak asasi manusia,” ujar Chriswanto Santoso.
Kedudukan agama, bagi sebagian besar orang adalah paling suci. Bahkan, menempatkan kesakralannya di atas ayah-ibu. “Bila orangtua kita dihina, pastilah tidak berkenan. Apalagi agama yang dihina,” imbuh KH Chriswanto.
Menurutnya, bangsa Indonesia tidak bisa meniru kebebasan beragama seperti di Barat. Bila di Barat menghina agama lain sebagai bagian kebebasan berekspresi. “Di Indonesia sebaliknya, bukan bebas menghina tapi bebas memberi ruang keyakinan kepada orang lain, meskipun berbeda agama dan keyakinan,” ujarnya.
Di sinilah keistimewaan bangsa Indonesia, pada satu sisi meyakini ajaran agamanya paling benar, namun membuka ruang toleransi. “Toleransi itu beda dengan menghormati atau menghargai. Konsepnya, Anda bisa berbuat apapun, tapi jangan melewati garis merah keyakinan orang lain. Menggratiskan minuman keras kepada nama Muhammad dan Maria, itu melanggar batas keyakinan yang paling suci umat Islam dan umat Kristen serta Katolik,” keluh KH Chriswanto.
Menurutnya, setiap agama diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai, tapi tetap ada batas toleransinya. Bahkan dalam Islam, menghina agama atau sesembahan agama lain adalah hal yang dilarang. “Karena bisa dipastikan umat lain tersinggung dan balik menghina Allah, Tuhannya umat Islam. Inilah pentingnya saling menghargai dan menghormati, serta membuka ruang toleransi,” ujarnya.
KH Chriswanto mengatakan, tafsir Bung Karno soal Sila Pertama adalah Ketuhanan yang berkebudayaan, maksudnya sebagai bangsa yang berbudaya bangsa Indonesia jangan meniru Barat dalam berdemokrasi, “Mereka mengagungkan kebebasan individu, boleh menghina agama lain. Bangsa Indonesia justru dengan budaya luhurnya menghormati agama lain. Mereka yang menghina agama lain, bisa disebut budi pekertinya tidak luhur,” paparnya.
Ia pun meminta, bangsa Indonesia untuk mengubah persepsi soal radikal, “Kata radikal selalu disematkan kepada pemeluk agama, sementara orang-orang sekuler ketika melewati batas, tidak disebut radikal,” ungkapnya. Radikalisme penganut sekularisme justru tampak, saat mereka mulai mencemooh agama.
Ia mengingatkan, bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, keyakinan, dan agama memerlukan ikatan yang kuat. Perbedaan itu rentan pecah, dan menurutnya negara pecah karena perbedaan agama bukan mustahil, “Lihatlah Hindustan yang pecah jadi Pakistan dan India, Yugoslavia yang pecah juga karena ideologi,” paparnya.
Menurutnya, hanya dengan saling menghargai dan menghormati serta mengikat diri sebagai bangsa yang satu, itulah yang bisa menjadikan bangsa ini untuk mengarungi dinamika zaman. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi