SUARA INDONESIA - Kematian Yahya Sinwar, pemimpin Hamas yang terkenal dalam pertempuran melawan Israel, menimbulkan reaksi yang beragam di kalangan warga Palestina, terutama di Gaza.
Bagi sebagian orang, kematiannya dipandang sebagai akhir yang heroik, terutama karena Sinwar tewas saat mencoba melawan drone dengan tongkat di medan pertempuran.
Kisah hidup dan kematiannya telah menjadi simbol bagi generasi mendatang di Gaza, meskipun perang ini membawa dampak besar bagi kedua belah pihak.
Sinwar dikenal sebagai otak di balik serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang memicu konflik besar dengan Israel.
Dalam serangan tersebut, sekitar 1.200 orang tewas, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil.
Sebanyak 253 orang diculik dan dijadikan sandera di Gaza, yang memperpanjang krisis dan memperparah situasi.
Bagi banyak warga Gaza, cara Sinwar menghadapi kematiannya dianggap sebagai contoh keberanian luar biasa.
Dalam sebuah video yang tersebar, Sinwar terlihat terluka di sebuah apartemen yang hancur akibat serangan, namun tetap berusaha melawan drone Israel yang merekamnya.
Tindakannya ini memicu kebanggaan di kalangan banyak warga Palestina.
"Dia meninggal sebagai pahlawan, tidak melarikan diri, melawan sampai akhir dengan senjatanya," ujar Hamas dalam pernyataannya. Bagi sebagian orang, seperti Ali, seorang pengemudi taksi di Gaza, video itu adalah sesuatu yang harus diajarkan kepada anak-anaknya sebagai simbol keberanian.
"Saya akan menontonnya setiap hari dan menunjukkannya kepada anak-anak dan cucu-cucu saya," katanya.
Namun, meskipun ada kebanggaan di antara beberapa warga Palestina, tidak bisa dipungkiri bahwa konflik ini membawa dampak yang sangat besar.
Perang yang dipicu oleh serangan Hamas telah menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina, dengan ribuan korban lain masih terkubur di bawah reruntuhan bangunan.
Meskipun kematian Sinwar dipandang heroik oleh sebagian besar pendukungnya, banyak juga warga Palestina yang mulai meragukan tujuan perangnya.
Sebuah jajak pendapat pada bulan September menunjukkan bahwa mayoritas warga Gaza menganggap serangan pada 7 Oktober sebagai keputusan yang salah, mengingat dampak besar yang ditimbulkan oleh perang ini terhadap kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam pidato terakhirnya, Sinwar menegaskan bahwa dia lebih memilih mati sebagai martir di tangan Israel daripada mati karena sebab alamiah.
"Hadiah terbaik dari musuh adalah kematian saya, dan saya akan menjadi martir di tangan mereka," ujarnya.
Namun, dengan berlanjutnya perang, warga Gaza kini menghadapi kenyataan sulit.
Banyak yang harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggal, sementara mereka terus berjuang untuk mempertahankan wilayah dan identitas mereka.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Aditya Mulawarman |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi