SUARA INDONESIA, NGAWI- Di tengah Peringatan Hari Guru Nasional tahun 2024 masih dijumpai pahlawan tanpa mahkota. Sebutan itu mungkin layak disematkan pada Machsun, seorang guru sekolah dasar di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Pria berusia 40 tahun itu jadi guru honorer selama 18 tahun dan hanya menerima gaji sebesar Rp 200 ribu per bulan.
Kepada Suaraindonesia.co.id Senin (25/11/2024), Machsun menceritakan, awal mula ia melakoni sebagai guru pada tahun 2006. Usai kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Machsun mengajar sekolah dasar di kampungnya, di Desa Ngale, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi.
Tetangga sekitar tempat tinggal Machsun pun senang, pertama kali di kampungnya ada guru bahasa Inggris yang mau berjuang untuk anak-anak mereka agar mampu menguasai bahasa asing yang menurut keyakinan penduduk setempat, bahasa Inggris adalah modal untuk mencari kerja di masa depan.
Namun, perjuangan Machsun tak seberapa dengan honor yang ia terima. Machsun mengaku pada saat itu ia menerima honor sebesar Rp 150 ribu per bulan, kemudian seiring berjalannya waktu honor yang ia terima naik menjadi Rp 200 ribu hingga sekarang. Saat itu, Machsun pun tak berfikir pendapatan yang ia terima, menurutnya profesi guru adalah panggilan hati.
Kemudian seiring perkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi semakin meningkat, Machsun mulai merasakan keinginan untuk mendapatkan gaji yang lebih layak. Machsun pun terus berupaya agar ia bisa diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun diangkat Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dan tak seperti yang dibayangkan oleh Machsun, aturan pengangkatan PNS/PPPK yang kerap berubah, menjadikan mimpi Machsun kandas. Pada saat ia mengikuti ujian PPPK dan nilai yang didapat cukup baik, tapi lagi-lagi ia belum beruntung. Meski nilainya mendapatkan kode P (Passing Grade) namun gugur di peringkat.
Meski begitu, semangat Machsun tak surut. Ia terus bersemangat untuk mengajar sekolah dasar di kampungnya. Mengingat ia juga merupakan alumni dimana sekolah tempat ia mengajar. Dorongan dan dukungan dari tetangga orang tua murid menjadikan Machsun harus tetap mengajar meski gaji yang ia peroleh tak cukup.
Tak berhenti di situ, Machsun pun diminta oleh warga setempat untuk membuka les bimbel. Lalu ia pun menuruti permintaan warga sekitar, ketika pagi hingga sore ia mengajar di sekolah, malam hari Machsun harus mengajar les. Itupun kata Machsun, ia tidak menarget biaya yang harus ia terima.
"Memang sudah kewajiban saya sebagai pendidik membantu masyarakat untuk menyalurkan ilmu kepada anak-anak, dalam hal ini sesuai jurusan pendidikan saya mapel bahasa inggris. Harapannya anak-anak di kampung saya sukses," katanya.
Kendati begitu, Machsun tak ingin menjadi guru honorer seperti orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia merasa miris adanya perbedaan antara guru honorer dengan ASN yang berpangkat PNS atau PPPK. Padahal, kata Machsun, kerja yang ia lakukan sehari-hari tidak jauh berbeda.
Machsun berharap pemerintah pusat maupun daerah memperhatikan nasib guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun. Machsun meminta agar seyogianya regulasi bisa dipermudah menjadi PNS/PPPK. Apalagi keberadaan guru di Ngawi masih kurang, kebutuhan guru masih dibutuhkan.
"Data guru honorer yang lama agar diupdate, terutama yang sudah diatas 10 tahun menjadi guru honorer, kami meminta kepada pemerintah agar ekonomi guru honorer untuk diperhatikan," ujar Machsun.
"Semoga ratapan kami bisa didengar, agar nasib guru honorer di Ngawi bisa tersenyum di masa depan. Tidak hanya saya, masih banyak guru honorer di Ngawi yang bernasib sama seperti saya. Mohon kami diperhatikan," tutup Machsun.
Menurut data awak media, di Kabupaten Ngawi masih terdapat 600 guru honorer yang mengajar dengan menerima gaji di bawah kata layak. Machsun adalah salah satu contoh guru honorer yang nasibnya nelangsa. Mereka mengalami dilema, antara panggilan jiwa dan beban hidup, karena keberadaan mereka masih dibutuhkan. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Ari Hermawan |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi