JAKARTA - Pada 18 Mei 1998 sekitar 15.000 mahasiswa menduduki DPR. Lalu, pada 21 Mei, Presiden Soeharto mengundurkan diri digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, yang menandai berakhirnya 32 tahun otoritarianisme Orde Baru.
“Kami sebagai ormas merasakan benar, Reformasi 1998 membawa perubahan dalam hal kebebasan berpendapat dan berserikat,” tutur Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso. Dengan kebebasan tersebut, ormas-ormas dapat berkontribusi lebih maksimal dalam pembangunan nasional.
Menurut pandangan mantan politisi Golkar Jawa Timur itu, Reformasi memungkinkan ormas menangkap aspirasi warganya, untuk kemudian mencari solusi dengan pemerintah. “Kami memiliki kapasitas dalam menyikapi masalah di akar rumput, tapi memerlukan otoritas yakni pemerintah dan lembaga-lembaga pengambil kebijakan,” imbuh KH Chriswanto.
Namun ia juga mengingatkan, Reformasi melahirkan demokrasi liberal yang memungkinkan elit politik atau pemilik modal mengatur negeri ini. “Inilah yang membuat musyawarah mufakat khas Indonesia menjauh dari esensinya. Berganti dengan lobi-lobi yang sifatnya transaksional. Belum lagi politik uang yang selalu hadir pada setiap pemilu,” keluh KH Chriswanto.
Politik uang sama halnya korupsi elektoral yang imbasnya panjang, seperti terganggunya proses pembangunan. Ini menjadi pintu terjadinya kemiskinan struktural, yang bisa menyeret mundur kualitas sumberdaya manusia yang mengakibatkan ketidakmampuan mengelola sumber daya alam.
KH Chriswanto juga mengingatkan, kemiskinan tersebut menyebabkan masyarakat akar rumput patah hati dengan demokrasi, yang dulu menjadi angin segar pada 1998. Ia pun menyinggung keterlibatan para pemodal dalam kekuasaan, yang mengakibatkan pelaksana negara tunduk pada pihak swasta. “Inilah yang memicu lahirnya shadow state, di mana pemodal bertransaksi dengan elit politik untuk mengatur kebijakan,” tuturnya.
Kebijakan yang propemodal belum tentu menguntungkan masyarakat, inilah yang menurut KH Chriswanto menjadi keprihatinan civil society. “Mimpi tentang demokrasi yang meningkatkan kesejahteraan menjadi pupus, jadi kita tidak bisa menyalahkan kalau ada sebagian masyarakat yang merindukan masa lalu,” tuturnya prihatin.
Ia mengingatkan demokrasi menuntut akuntabilitas dan transparansi, karena semangatnya adalah kekuasaan di tangan rakyat yang dijalankan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan demikian, pada dasarnya penguasa bekerja untuk rakyat dalam demokrasi yang kita sepakati ini. “Jadi apapun kebijakan yang diambil, haruslah selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kita punya panduan Pembukaan UUD 1945, di sanalah titik yang kita tuju,” imbuhnya.
LDII mengajak agar masyarakat memeriahkan pesta demokrasi. Meskipun demokrasi belum menunjukkan peningkatan kesejahteraan, namun masyarakat harus meyakini konsensus bentuk pemerintahan yang lahir pada Reformasi 1998. “Demokrasi ini bisa kita perbaiki dengan memilih para pemimpin yang memiliki kualitas, integritas dan elektabilitas, bukan popularitas,” pesan KH Chriswanto.
Popularitas bisa dibangun dengan banyak hal, bahkan di era media sosial sangat memungkinkan seseorang populer atau viral dalam beberapa hari saja. “Namun elektabilitas adalah persoalan amanah dan kejujuran serta integritas. Pemimpin atau wakil rakyat seperti itulah yang rakyat kehendaki, sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi kita,” pungkas KH Chriswanto Santoso.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Bahrullah |
Komentar & Reaksi