SUARA INDONESIA

Tanggung Jawab Manusia dalam Kehidupan

Zainul Hasan - 28 December 2022 | 18:12 - Dibaca 6.88k kali
Artikel Tanggung Jawab Manusia dalam Kehidupan
Mahfudz Sidiq, Dosen PAI dan Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember. (Foto: Istimewa)

Secara etimologi, tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, sehingga kalau terjadi apa-apa tehadap sesuatu itu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. 

Secara hukum, tanggung jawab berarti fungsi menerima pembebanan sebagai akibat, tindak laku sendiri atau pihak lain (kamus bahasa Indonesia).

Dalam Al-Qur'an surat Al-Qiyamah, ayat 36, disebutkan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab. 

"Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?"

Disebut demikian karena manusia, selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. 

Manusia memiliki tuntutan yang besar untuk hidup bertanggung jawab, mengingat manusia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks sosial, individual atau pun teologis.

Dalam konteks sosial, manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai seleranya sendiri. 

Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggung-jawabkan, sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama.

Masalah tanggung jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis. Manusia sebagai makhluk individual artinya, manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (Keseimbangan jasmani dan rohani) dan harus bertanggung jawab terhadap Tuhannya (Sebagai Penciptanya). 

Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia memiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul sebagai akibat keyakinannya terhadap suatu nilai.

Demikian pula tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, timbul karena manusia sadar akan keyakinannya terhadap nilai-nilai. Dalam hal ini, terutama keyakinannya terhadap nilai yang bersumber dari ajaran agama. 

Manusia bertanggung jawab terhadap kewajibannya menurut keyakinan agamanya. Tanggung jawab alam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. 

Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung risiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan mandiri. 

Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan berusaha melalui seluruh potensi dirinya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain.

Orang yang bertanggung jawab itu adil atau mencoba berbuat adil. Tetapi, adakalanya orang yang bertanggung jawab tidak dianggap adil karena runtuhnya nilai-nilai yang dipegangnya. Orang yang demikian tentu akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Tuhan.

Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak, dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. 

Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya.

Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh kebahagian, sebab ia dapat menunaikan kewajibannya. 

Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak betanggung jawab akan menghadapi kesulitan, sebab ia tidak mengikuti aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku.

Kehidupan Dunia Sebagai Ladang Akhirat

Al-Qur’an menggambarkan kehidupan ini bagai tanaman yang tumbuh dan berkembang sampai ke tingkat yang manakjubkan, kemudian layu, kering dan hancur. Sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus (10:24):

"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya Karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak.

Hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya [683], dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya [684], tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. 

Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir. [683] Maksudnya: bumi yang indah dengan gunung-gunung dan lembah-lembahnya telah menghijau dengan tanam-tanamannya. [684] Maksudnya: dapat memetik hasilnya.

Al-Qur’an tidak melarang manusia untuk merasakan kenikmatan, keberuntungan dan kebahagiaan dunia. Hanya diingatkan jangan sampai melampaui batas atau salah menggunakannya, sehingga menimbulkan kerusakan, merugikan diri sendiri atau orang lain. 

Artinya, dalam mencari rizki, mengecap kelezatan dan kenikmatan hidup manusia harus tetap mematuhi ketentuan-ketentuan dan peraturannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Qashas (28:77).

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Dalam kehidupan ini, Islam mengajarkan supaya melaksanakan keseimbangan antara kehidupan di dunia ini dengan kehidupan di akhirat nanti.

Islam melarang manusia hanya larut dalam mengusahakan kehidupan dunia saja, tetapi manusia juga harus mengusahakan kehidupan akhirat. Seperti dalam sabda Rasulullah saw dalam suatu hadits:

"Beramallah untuk (kepentingan) hidup dunia seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya dan beramallah untuk (kepentingan) hidup akhirat seakan-akan engkau mati besuk pagi.”

Hal ini bukan berarti kehidupan dunia fifety-fifety dengan kehidupan akhirat. Namun kehidupan kampung akhirat adalah lebih baik dan sebenar-benarnya kehidupan. Firman Allah dalam QS Al-Ankabut (29:64).

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."

Untuk itu, manusia sudah semestinya dalam kehidupan ini banyak beramal, yaitu mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya, dalam rangka persiapan (mencari bekal) untuk kehidupan akhirat. Seperti petunjuk Rasulullah yang artinya: Dunia adalah sawah/ladang bagi kehidupan akhirat.

Tanggung Jawab dalam Kehidupan Merupakan Tugas Pengabdian

Makna esensial dari kata ‘Abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. 

Ketaatan dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah dan dilarang menghamba pada dirinya, serta menghamba pada hawa nafsunya. 

Kesediaan manusia untuk menghamba hanya pada Allah dengan sepenuh hatinya, akan mencegah penghambaan manusia terhadap manusia, baik dirinya maupun sesamanya.

Tanggung jawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki, yang bersifat fluktuatif (naik-turun), yang dalam istilah hadis Nabi SAW dikatakan 'ayazidu Wa Yanqushu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).

Seorang hamba Allah juga mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga. Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggung jawab terhadap diri sendiri, karena memlihara diri sendiri berkaitan dengan perintah memelihara iman keluarga. 

Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dinyatakan dengan 'Qu Anfusakum Wa Ahlikum Nar' (Jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman, dari siksa neraka).

Allah dengan ajaran-Nya Al-Qur’an menurut Sunnah Rasul, memerintahkan hamba-Nya (Abdullah) untuk berlaku adil dan ihsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. 

Dengan berpedoman pada ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kemungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. 

Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan salat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Al-Fakhsya’i Wal-Munkar).

Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (QS. Ali Imran :104). Firman Allah dalam QS Ali Imran, ayat 104.

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung."

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Di sisi lain, Al-Qur’an banyak memperkenalkan ayat tentang hakikat dan sifat-sifat manusia sebagai makhluk yang menempati posisi unggul. 

Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan telah menyampaikan kepada malaikat bahwa Dia akan menciptakan Khalifah (wakil) di muka bumi (Al-Baqarah: 31).

Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Dia yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya, dan memakmurkannya sebagai amanah dari Allah. 

Sebagai penguasa di bumi, manusia berkewajiban membudayakan alam semesta ini guna menyiapkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Tugas dan kewajiban ini merupakan ujian dari Allah kepada manusia, siapa diantaranya yang paling baik menunaikan amanah itu.

Konsekuensi kekhalifahan manusia di muka bumi adalah membangun, mengelola dan memakmurkan bumi ini dengan sebaik-baiknya. 

Dengan demikian, kehidupan seorang muslim akan dipenuhi dengan amaliah dan kerja keras yang tiada henti. Kerja keras bagi seorang muslim adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Manusia yang dianggap sebagai Khalifah tidak akan menjunjung tinggi tanggung jawab kekhalifahannya tanpa dilengkapi dengan potensi-potensi yang memungkinkannya mampu melaksanakan tugasnya. 

Shihab (1998), mengemukakan beberapa potensi tersebut yang diberikan Allah kepada manusia sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yaitu: 

a. Kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda (QS. Thaha:31). Artinya: Teguhkanlah dengan Dia kekuatanku.

Melalui potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam semesta, menyusun konsep, mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan untuk melaksanakannya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya.

b. Pengalaman selama berada di surga, baik yang manis seperti kedamaian dan kesejahteraan (QS Al-Waqi’ah, ayat 26) dan (QS Thaha, ayat 117) maupun yang pahit seperti keluarnya Adam dan Hawa dari sorga akibat terbujuk oleh rayuan setan di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk surga, yang sudah masuh surga pun, bila mengikuti rayuan syaitan akan diusir dari surga. Artinya: Akan tetapi mereka mendengar Ucapan salam (QS. Waqi’ah: 26).

Firman Allah dalam QS Thahaa, ayat 117: "Maka Kami berkata, Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka."

c. Tuhan telah menaklukkan dan memudahkan alam semesta ini untuk diolah oleh manusia. Penaklukan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia sendiri (QS Ibrahim: 32-33) dan (QS Al-Zukhruf: 13). 

Perlu digarisbawahi bahwa kemudahan dan penaklukan tersebut bersumber dari Allah. Dengan demikian, manusia dan seluruh isi alam semesta itu mempunyai kedudukan yang sama dari segi ketundukan (penghambaan diri) kepada Allah. 

Firman Allah dalam QS Ibrahim, ayat 33: "Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan siang."

d. Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia selama berada di bumi (QS. Thaha, 20:123).

"Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka."

Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. 

Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.

Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. 

Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.

Sebagai wakil Tuhan, Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat dapat menyusun konsep baru, serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam kebudayaan.

Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. 

Adanya kebebasan manusia di muka bumi adalah karena kedudukannya untuk memimpin, sehingga pemimpin tidak tunduk kepada siapapun, kecuali kepada yang di atas yang memberikan kepemimpinan. 

Oleh karena itu, kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimiliki tidak tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang. 

Kebebasan manusia dengan kekhalifaannya merupakan implementasi dari ketundukan dan ketaatan. Ia tidak tunduk pada siapapun kecuali kepada Allah, karena ia hamba Allah yang hanya tunduk dan taat kepada Allah dan kebenaran.

Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam kitab suci (Al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semestas (Al-Kaun). 

Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan perannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya.

Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS Fathir, ayat 39.

Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.

Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi, sebagai khalifah dan ‘Abd merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup, yang sarat dengan kreatifitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. 

Oleh karena itu, hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan amaliah, kerja keras yang tiada henti, sebab bekerja bagi seorang muslim adalah membentuk satu amal saleh. 

Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya.

Dua sisi tugas tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajat manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti difirmankan oleh Allah SWT dalam QS al-Thin, ayat 4 sampai 8. (*)

*Penulis : Mahfudz Sidiq, Dosen PAI dan Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Zainul Hasan
Editor : Imam Hairon

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV