SUARA INDONESIA

Sidang Konsinyasi Ganti Rugi Lahan Kilang Tuban Bubar

M. Efendi - 07 December 2020 | 21:12 - Dibaca 3.40k kali
Peristiwa Sidang Konsinyasi Ganti Rugi Lahan Kilang Tuban Bubar
Warga pemilik lahan saat menghadiri sidang konsinyasi bentuk ganti rugi

TUBAN - Pembebasan lahan untuk pembangunan proyek kilang Grass Root Refinery (GRR) di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur berlanjut hingga proses konsinyasi ke Pengadilan Negeri (PN) Tuban. Senin, (07/12/2020).

Namun, dalam proses sidang konsinyasi di PN yang diikuti sebanyak 23 orang dari dua desa, yakni Desa Wadung dan Sumurgeneng baru berlangsung sekitar 15 menit, masyarakat memilih membubarkan diri.

Hal ini dikarenakan, warga merasa tidak diberi ruang untuk menyampaikan setuju atau tidak dalam kasus ganti kerugian lahan pertanian yang mereka miliki.

Seperti yang disampaikan Mulyono (39), warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu ini, ia mengaku bahwa dalam sosialisasi konsinyasi yang dilakukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban bersama PT Pertamina di Balai Desa Sumurgeneng pada (30/11) lalu, warga pemilik lahan diminta datang memenuhi panggilan PN Tuban untuk memberikan pilihan setuju atau tidak melepaskan tanahnya didalam persidangan.

"Waktu di balai desa kan katanya bisa menolak atau tidak saat proses konsinyasi di Pengadilan. Tapi saat sidang, majelis hakim hanya membacakan luas tanah dan jumlah total ganti rugi, tanpa ada penawaran langsung digedok sesukanya sendiri. Aturan macam apa ini?," tanyanya. 

Saat dilakukan tawar menawar, sejak awal adanya penetapan lokasi hingga pembebasan lahan, dirinya menolak menjual tanahnya kepada Pertamina. Sebab, tanah pertaniannya tersebut adalah satu-satunya tempatnya dalam mencari nafkah untuk keluarga dan anak cucunya kelak.

“Kalau Pertamina berniat membangun kilang di tanah kami, ya orangnya Pertamina lah yang seharusnya datang menghadapi pemilik tanah, bukan cara dzolim seperti ini,” papar Mulyono.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Wantono (39), pemilik lahan di Desa Sumurgeneng, sidang konsinyasi ini adalah inkonstitusional atau melawan hukum. Sebab, didalam persidangan yang dilakukan oleh PN Tuban, hanya dibacakan amar putusan, seperti luas lahan yang dimiliki tergugat, tanam tumbuh, bangunan yang berada diatas bagaimana, serta jumlah total ganti ruginya.

Adapun substansi hukum disini adalah sidang konsinyasi, artinya harus ada persyaratan yang dipenuhi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 3 Tahun 2016, pasal 29 ayat (1), yang berbunyi, apabila termohon menolak jumlah nilai ganti rugi yang ditawarkan untuk dibayarkan, maka Ketua Pengadilan dapat memerintahkan untuk memeriksa permohonan penitipan ganti kerugian dan meminta juru sita untuk memanggil kedua belah pihak untuk dilakukan pembuatan berita acara tentang pemberitahuan akan dilakukan penyimpanan uang ganti kerugian di panitera.

“Tentunya dalam persidangan harus ada barang bukti, yaitu uang ganti rugi yang telah tersedia di rekening pengadilan. Tapi, saat warga dipanggil ke persidangan hanya dibacakan putusan tanpa diberi kesempatan menjelaskan pembelaan. Inilah yang saya katakan bahwa sidang tadi inkonstitusional,” ujarnya.

Dikonfirmasi terpisah, Asset Managemen Pertamina, Muslim Gunawan yang juga sebagai tim pengadaan lahan menginformasikan bahwa, sebelum dilakukan proses konsinyasi, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban selaku ketua pelaksana pengadaan tanah telah melakukan musyawarah bentuk ganti kerugian dengan mengundang pemilik lahan atau yang berhak sesuai hasil inventarisasi dan identifikasi satgas A dan B.

Sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2012, apabila warga pemilik lahan belum menerima harga yang ditetapkan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), maka BPN memberikan kesempatan kepada masyarakat selama 14 hari sejak musyawarah untuk melakukan gugatan ke Pengadilan. Karena tidak ada yang menggugat, maka Pertamina melakukan penitipan ganti kerugian ke PN Tuban.

“Kami mengikuti prosedur sesuai undang-undang yang berlaku. Maka Pertamina melakukan penitipan ganti kerugian ke PN Tuban sesuai surat dari BPN selaku ketua pelaksana pengadaan tanah,” terangnya.

Sementara itu, Humas PN Tuban, Donovan Akbar Kusuma menjelaskan, didalam sidang permohonan konsinyasi ini dibagi menjadi dua tahap. Masing-masing hari pertama diikuti oleh 23 orang, dan tahap kedua ada 27 orang. Hal ini dikarenakan masih dalam situasi pandemi, sehingga terpaksa dilakukan pembatasan.

Dalam prosedur konsinyasi ini, manjelis hakim pengadilan memberikan penawaran kepada termohon untuk menerima atau menolak permintaan pemohon. Jika pemilik tanah setuju, maka pengadilan akan memerintahkan pihak Pertamina untuk membayarkan, namun jika tidak menolak, uang ganti rugi termohon dititipkan di pengadilan.

“Memang ada kesempatan bagi masyarakat atau termohon untuk menyampaikan mau menerima atau tidak. Jika menerima, akan kita arahkan Pertamina untuk langsung melakukan pembayaran. Tapi jika menolak, uang itu akan dititipkan ke Pengadilan,” jelas Donovan.

Didalam persidangan, apabila termohon atau masyarakat keberatan terkait dengan harga yang diberikan oleh pemohon, maka termohon tidak akan dihalang-halangi haknya melalui upaya hukum yang ada. Seperti gugatan, contohnya, maka pengadilan tidak boleh menolak untuk menerima upaya hukum tersebut.

“Tentunya kalau masyarakat mengajukan gugatan, pasti kami terima dan akan kami sidangkan dengan putusan tergantung dari pihak hakim yang memeriksanya. Maka itu, apabila ada warga yang ingin berdialog atau menyuarakan aspirasi diluar persidangan konsinyasi, kami akan siap melayani,” pungkasnya. (jun/im)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : M. Efendi
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya