JEMBER- Memberikan suatu barang sebagai jaminan untuk memperkuat perjanjian dalam utang piutan merupakan hal yang diperbolehkan dalam agama. Dan ia masih berhak memanfaatkan benda itu meski tanpa izin penerimanya.
Pemilik barang masih memiliki hak atas manfaat dari benda yang dijadikan jaminan, karena pada dasarnya rungguhan tersebut masih dalam hak kepemilikannya.
Oleh karena itu ia berhak mengambil dan memanfaatkan barang jaminan tersebut. Yang tidak diperbolehkan adalah saat dirinya sengaja menghilangkan barang itu dengan cara menjual ataupun menyewakannya tanpa izin dari penerimanya hingga batas masa rungguhan berakhir.
"Rungguhan tidak menutup pemilikinya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia dan dia wajib membayar dendanya," HR Syafii dan Daruqutni.
Adapun penerima jaminan, juga boleh mamanfaatkan barang tersebut dengan tetap mengganti kerugiannya untuk menjaga benda tersebut.
"Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang memegang rungguhan itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikan pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba," HR Hammad bin Salmah.
Sementara itu dikutip dari buku Fiqih Islam karya Sulaiman Rasjid, jika barang jaminan bertambah, dapat dibagi menjadi dua perkara, yakni sebagai berikut:
Adapun untuk hal-hal yang ditambah dalam urusan utang piutang maka itu masuk dalam katagori riba.
"Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari bebarapa macam riba," HR Baihaqi. (Ree)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Redaksi |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi