SUARA INDONESIA, PROBOLINGGO – Perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat kedua di Asean dan peringkat kedelapan di dunia. Termasuk di Kabupaten Probolinggo yang masuk kategori tinggi secara nasional.
Menyikapi masalah tersebut Pimpinan Daerah (PD) Aisyiyah Kabupaten Probolinggo, menggelar lokakarya peningkatan kapasitas multipihak untuk pencegahan perkawinan anak.
Ketua PD Aisyiyah Kabupaten Probolinggo, Lasminingsih mengatakan, perkawinan anak berdampak pada masalah stunting, angka kematian ibu dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, hingga Kemiskinan.
“Ini tugas kita bersama, mengingat kompleksnya faktor penyebab perkawinan anak maka perlu upaya pencegahan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, tokoh agama maupun tokoh adat hingga akademisi dan media,” ungkapnya, Senin (19/8/2024).
Lokakarya Itu digelar di Ruang Tengger 2 Kantor Pemerintah Kabupaten Probolinggo, dengan menghadirkan pemateri dari Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Jawa Timur, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Jawa Timur.
Lasminingsih menambahkan, kegiatan tersebut terselenggara atas kerja sama PD Aisyiyah, Pemkab Probolinggo dan Australia dalam rangka menindaklanjuti penyusunan RKD pencegahan perkawinan anak.
Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Hudan Syarifuddin menyatakan, angka perkawinan anak Kabupaten Probolinggo cukup lumayan.
Menurutnya, berdasarkan data Pengadilan Agama hingga Juni 2024 terdapat sebanyak 222 permintaan dispensasi nikah untuk calon pengantin anak.
Hudan menyebut, permasalahan perkawinan anak juga terjadi karena faktor regulasi. Seperti permintaan dispensasi nikah (diskah) yang pada hal tertentu dengan ketentuan berbagai syarat khusus dibolehkan.
“Langkah Aisyiah ini membantu dan memudahkan kinerja dinas kami untuk melayani masyarakat. Berbagi pengetahuan, pengalaman dan strategi dalam pencegahan perkawinan anak. Data ini harus diperhatikan agar program pada setiap dinas bisa sesuai,” terangnya.
Sementara untuk perceraian dari hasil perkawinan anak di Kabupaten Probolinggo, Hudan membeberkan penyebabnya meliputi
faktor sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan persepsi tentang Gender untuk perkawinan anak.
“Anak perempuan dianggap beban padahal potensi perempuan bisa menempati pekerjaan-pekerjaan formal. Potensi perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Terkait kebijakan baik dari Kemenag maupun dari instansi lain sudah ada perubahan yang sangat baik. Ke depan akan banyak dilakukan MoU, seperti dengan kementerian agama dan dinas kesehatan,” tandasnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Lutfi Hidayat |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi