TUBAN - Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan hal ini, negara sebagai instrumen publik wajib untuk memenuhi hak kesehatan warga negaranya. Secara konstitusi, pengabaian hak atas kesehatan masyarakat merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap perlindungan dan penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat.
Namun, berbeda dengan kisah Narti (29), seorang perempuan yang berasal dari Desa Padasan, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, dimana Narti yang seharusnya mendapatkan perlindungan kesehatan. Justru harus kehilangan satu-satunya tanah yang menjadi mata pencahariannya.
Kisah itu dimulai saat Narti berniat berobat di Rumah Sakit Dr Koesma Tuban pada (31/05) Senin Malam, bermodalkan uang seadanya untuk ongkos dan kebutuhan di rumah sakit serta menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari pemerintah berharap biaya rumah sakit bisa gratis.
Setelah itu, Narti dimasukan ke ruang IGD dan melakukan tes swab dan ronsen. Tanggal (01/06) Selasa sore hasil dari ronsen keluar. Dari hasil tersebut Narti meminta untuk pulang, karena dirasa kondisinya sudah membaik.
"Saya masuk rumah sakit itu hari Senin dan langsung di tes swab dan ronsen kondisi paru-paru saya. Selasa sore hasil ronsen itu keluar, waktu itu saya bilang ke perawatnya untuk minta pulang dan untuk menebus obat saja, karena kondisi saya saat itu masih baik. Tapi perawatnya tidak boleh, harus menginap satu malam menunggu hasil tes swab Covid-19," jelas Narti kepada suaraindonesia.co.id, Rabu (23/6/2021).
Dalam ruangan IGD, Narti diselimuti rasa ketakutan setiap kali mendengar suara brankar dorong yang seakan-akan terlintas bahwa itu adalah pasien yang meninggal karena Covid-19. Hal ini, membuat Narti membulatkan tekadnya untuk meminta pulang.
Dari situ, Praptono (25) yang merupakan keluarga Narti berusaha berkoordinasi dengan pihak rumah sakit agar Narti bisa dipulangkan dan dirawat di rumah.
"Waktu itu katanya hasil swabnya keluar hari Rabu tanggal 2 jam 8. Tapi jam 8 sepupu saya Praptono tanya hasil tesnya masih belum keluar, dan keluar hasil tes itu jam 4 sore. Hasilnya, saya positif Covid-19 dan katanya saya harus diisolasi serta harus dipindahkan keruangan lain," ujarnya.
Merasa kondisi sehat, keluarga sepakat agar Narti bisa dibawa pulang dari rumah sakit milik Pemerintah Daerah tersebut untuk diisolasi di rumah.
"Kata perawatnya sih boleh pulang, tetapi BPJS (KIS, Red) tidak bisa digunakan. Karena bilangnya sudah diblokir. Sementara pihak keluarga pasien harus menyiapkan uang kurang lebih sekitar 7 juta. Dan katanya lagi kalau berobat kembali kesini lagi harus bayar biasa, karena kartunya tidak berlaku atau diblokir," tuturnya.
Mendengar bahwa KIS sudah diblokir oleh pihak rumah sakit, dan harus membayar biaya perawatan selama tiga hari sebesar Rp 6.200.000. Narti pun terpaksa mencari pinjaman uang kepada para tetangganya untuk melunasi biaya rumah sakit yang dirasa mustahil baginya bisa didapatkan dalam waktu cepat.
"Saya sendiri memang petani, orang gak mampu. Jadi kalau bayar segitu uang dari mana, saya kira saya bawa kartu KIS itu berobatnya bisa gratis. Akhirnya kemarin meminjam uang tetangga kanan kiri, terus minta tolong kepada kakak saya agar jual ternak sapinya untuk melunasi hutang kemarin kepada tetangga, tapi kan saya masih punya hutang sama kakak saya," keluhnya sambil mata berkaca-kaca.
Karena sapi adalah milik kakaknya untuk melunasi hutang biaya rumah sakit. Narti, akhirnya memberikan tanah persil satu-satunya yang biasanya ia garap dan hasilnya sebagai modal bertahan hidup untuk diberikan kepada kakaknya sebagai gantinya menjual sapi.
"Sekarang ya sudah tidak punya apa-apa lagi. Tanah persil sudah diberikan kepada kakak. Jadi mungkin nanti jadi buruh tani saja. Insyaallah rezeki sudah ada mengatur," ucap Narti sembari menarik nafas melonggarkan dada.
Semenjak Narti pulang dari rumah sakit hingga saat ini, atau kurang lebih satu bulan, belum ada tenaga kesehatan, baik dari pihak Satgas Covid-19, puskesmas, maupun tenaga kesehatan lainnya yang datang ke rumahnya.
"Katanya kemarin kalau pulang juga akan dipantau Tim Satgas Covid-19, tapi sampai saat ini belum ada yang datang ke rumah," ungkapnya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur RSUD Dr Koesma, Saiful Hadi menyebut, bahwa ketika pasien Covid-19 yang meminta pulang sudah ranahnya Dinas Kesehatan.
"Kalau di RSUD pasien Covid-19 minta pulang harus mengisi form bermaterai yang ditandatangani oleh yang bersangkutan. Karena jika menolak Covid-19, otomatis semua pembiayaan dikeluarkan secara pribadi, pemerintah tidak menanggung sama sekali," pungkasnya.
Sekadar diketahui, berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui Tracking Monitoring Report, dalam biaya kesehatan menyebabkan 100 juta penduduk di seluruh dunia masuk jurang kemiskinan.
Sementara dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 mencatat, eskalasi biaya kesehatan mencapai 0,59 persen. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kebutuhan esensial lain, seperti bahan makanan yang hanya 0,19 persen. (Irq/Nang).
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : M. Efendi |
Editor | : Nanang Habibi |
Komentar & Reaksi