SUARA INDONESIA

Pilkada di Indonesia, Ujung Tombak atau Formalitas Demokrasi?

- 09 December 2020 | 09:12 - Dibaca 1.83k kali
Politik Pilkada di Indonesia, Ujung Tombak atau Formalitas Demokrasi?
Dr. Tantri Bararoh (Dosen Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Ketua DPC ISRI Kabupaten Malang, Anggota DPRD Kabupaten Malang)

Opini oleh: Dr. Tantri Bararoh (Dosen Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Ketua DPC ISRI Kabupaten Malang, Anggota DPRD Kabupaten Malang)

Sejak tahun 2005, Indonesia telah mulai menerapkan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebagai bagian dari sistem demokrasi elektoral atau prosedural yang dijalankan. Pelaksanaan sistem Pilkada langsung ini merupakan konsekuensi dari diterapkannya sistem Otonomi Daerah dalam tata kelola pemerintahan Indonesia yang tertuang dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan Pilkada ini membawa harapan besar pada perbaikan dan penguatan nilai-nilai demokrasi di daerah yang nantinya dapat mendorong terciptanya kemakmuran rakyat. Namun pada kenyataannya, setelah diterapkan selama kurang lebih 15 tahun, Pilkada juga membawa berbagai persoalan-persoalan lain dalam demokratisasi di Indonesia yang perlu mendapat perhatian kita bersama.

Pilkada pada dasarnya merupakan salah satu wujud demokrasi, terutama demokrasi prosedural yang ada di daerah. Selain sebagai wujud konkret pelaksanaan demokrasi, Pilkada juga merupakan sebuah upaya dalam mencari pemimpin daerah terbaik yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Disamping itu, pelaksanaan Pilkada juga dapat dijadikan sebagai katalisator utama dalam membentuk masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menaruh perhatian yang serius dan memadai pada pelaksanaan demokrasi elektoral di daerah.

Munculnya perhatian terhadap proses demokrasi sangat penting untuk diketengahkan mengingat adanya demokrasi di daerah menjadi prasyarat bagi munculnya demokrasi pada tingkat nasional. Opini ini berangkat dari analisa bahwa ketika terdapat perbaikan dalam kualitas demokrasi di daerah, maka akan berdampak pula pada perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional. Begitu pula sebaliknya, jika kualitas demokrasi pada tataran daerah buruk, maka hampir bisa dipastikan kualitas demokrasi nasional juga akan mengalami hal yang serupa.

Pilkada merupakan bagian yang sangat penting bagi terciptanya iklim demokratis di daerah. Hal ini karena Pilkada merupakan pintu awal terbentuknya pemerintah daerah yang juga memiliki peran penting dalam implementasi demokrasi di daerah. Mengutip gagasan Larry Diamond dalam buku Prof. Dr. Kacung Marijan yang berjudul Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, bahwa pemerintah daerah dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi dalam masyarakatnya. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan yang ada di daerah. Beberapa hal ini menunjukkan bahwa penguatan demokratisasi melalui pemerintah di daerah sangat penting untuk dilakukan agar dapat mendorong terbentuknya kualitas demokrasi nasional yang baik dan bermartabat.

Berbagai persoalan yang kini harus kita jawab dan cari solusinya bersama adalah mengenai demokratisasi di daerah pasca diterapkannya Pilkada secara langsung. Pilkada langsung sejatinya dapat mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang berintegritas, kompeten dan mumpuni, sehingga dapat berdampak pula pada terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Artinya, Pilkada jangan hanya dipandang sebagai proses formalitas pergantian kepemimpinan daerah tanpa memperhatikan kualitas demokrasi dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Oleh karena itu, agar harapan-harapan dalam masyarakat dapat terpenuhi, terutama yang berkaitan dengan penguatan nilai-nilai demokrasi dan kesejahteraan, kualitas pemimpin daerah dan kualitas proses Pilkada itu sendiri harus mendapatkan perhatian yang lebih. Masyarakat di daerah tentu menginginkan agar kepala daerah merupakan sosok yang memiliki kompetensi yang ideal dalam berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan. Artinya, pemimpin daerah menjadi tumpuan utama bagi terlaksananya pembangunan di daerah yang nantinya akan bermuara pada terciptanya masyarakat yang makmur dan sejahtera. Pemimpin daerah yang berkualitas baik, tentu akan mempercepat terwujudnya kemakmuran rakyat.

Selain kualitas pemimpin daerah, yang perlu untuk kita telaah adalah proses Pilkada yang menjadi perwujudan demokrasi prosedural di Indonesia. Setelah diterapkan dalam mekanisme langsung sejak tahun 2005 yang lalu, Pilkada di Indonesia kini juga memasuki fase baru yakni dilaksanakan secara serentak. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2015, Pilkada serentak mulai dilaksanakan di Indonesia secara bertahap. Tahap pertama pada 9 Desember 2015, tahap kedua Februari 2017, tahap ketiga pada Juni 2018, tahap keempat pada 9 Desember 2020, tahap kelima pada tahun 2022, dan tahap keenam pada tahun 2023. Jika semua tahapan tersebut dapat berjalan lancar, maka Pilkada serentak secara nasional baru bisa diselenggarakan pada tahun 2027. 

Pada satu sisi, penerapan Pilkada serentak ini merupakan terobosan penting yang dilakukan oleh Pemerintah dalam proses penguatan demokrasi di Indonesia. Pilkada diupayakan sebagai momentum untuk memilih kepala daerah secara terorganisir dengan mempertimbangkan aspek efisiensi. Upaya pemerintah ini layak untuk mendapatkan apresiasi dari kita bersama. Namun demikian, meski secara teknis Pilkada langsung dan serentak menjadi titik awal majunya demokrasi prosedural di Indonesia, kita tetap tidak boleh melupakan substansi dan kualitas demokrasi itu sendiri.

Pilkada sebagai penentu nasib rakyat selama satu periode kepemimpinan atau lima tahun ke depan, harus diiringi dengan proses yang demokratis, adil, jujur, dan bermartabat sehingga di kemudian hari akan melahirkan pemimpin daerah yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan mampu untuk memajukan daerahnya. Selain itu, proses Pilkada yang efektif dan efisien baik dari segi waktu dan biaya juga harus dikedepankan. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri proses Pilkada juga berkontribusi menambah beban politik, sosial, bahkan beban finansial bagi calon kepala daerah dan juga bagi negara.

Pilkada secara langsung dan serentak mengharuskan calon kepala daerah untuk mengeluarkan cost politik yang tidak sedikit dan bahkan tidak seimbang antara nominal yang dikeluarkan dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Tahapan kampanye dan pembiayaan saksi-saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah beberapa sektor yang mengharuskan calon kepala daerah mengalokasikan dana yang sangat besar. Belum lagi jika kita berbicara mengenai calon-calon kepala daerah yang tidak memiliki integritas yang masih melakukan praktik-praktik money politic yang sampai hari ini masih banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut tentu semakin menambah beban biaya dalam pelaksanaan Pilkada. Selain itu, jika calon kepala daerah yang tidak berintegritas tersebut terpilih, maka akan memberikan celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk mengembalikan cost politik yang telah digelontorkan.

Selanjutnya, pada pelaksanaan Pilkada selama ini, persoalan yang paling sering muncul adalah maraknya sengketa pemilihan kepala daerah yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan, sidang sengketa pemilihan kepala daerah telah mendominasi perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Adanya sengketa Pilkada ini tentu membutuhkan waktu dan biaya tambahan yang tidak sedikit, baik bagi negara maupun bagi calon kepala daerah itu sendiri. Selain itu, potensi terjadinya konflik antara kelompok pendukung calon kepala daerah yang bersengketa juga sangat besar. Artinya, selain berdampak pada cost politik yang besar, proses pelaksanaan Pilkada yang patut mendapatkan perhatian kita bersama adalah mengenai potensi terciptanya konflik di tengah masyarakat.

Pilkada masih menjadi instrumen penting dalam pelaksanaan demokrasi prosedural di Indonesia. Pilkada juga menjadi pintu gerbang bagi tegaknya nilai-nilai demokrasi yang lebih substantif. Namun demikian, di tengah berbagai persoalan yang muncul dari pelaksanaan Pilkada, penting kiranya bagi kita untuk mengevaluasi kembali sistem pemilihan kepala daerah yang selama ini telah kita jalankan. Perlu adanya rekonstruksi ulang proses pemilihan kepala daerah agar kiranya berbagai persoalan yang muncul, seperti cost politik yang besar, celah penyalahgunaan wewenang, dan potensi konflik yang tinggi antar masyarakat dapat terminimalisir atau bahkan dapat dihilangkan.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta :
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya