SUARA INDONESIA

Ironi Kota Bontang: Angka Kemiskinan Rendah, Prevalensi Stunting Tetap Tinggi

Mohamad Alawi - 28 August 2024 | 15:08 - Dibaca 164 kali
Advertorial Ironi Kota Bontang: Angka Kemiskinan Rendah, Prevalensi Stunting Tetap Tinggi
Ketua DPRD Bontang Andi Faizal Sofyan Hasdam. (Foto: Alawi/Suara Indonesia)

SUARA INDONESIA, BONTANG - Kota Bontang tercatat sebagai salah satu daerah dengan persentase penduduk miskin terendah di Kalimantan Timur. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bontang, angka kemiskinan kota ini hanya 4,11 persen, menjadikannya daerah dengan jumlah penduduk miskin terendah kedua setelah Kota Balikpapan. 

Namun di balik prestasi ini, terdapat ironi yang mencolok: meskipun memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, Bontang justru memiliki prevalensi stunting yang cukup tinggi.

Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Bontang mencapai 23,26 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang ada, menandakan adanya masalah serius dalam hal kesehatan anak-anak di wilayah tersebut.

Menanggapi situasi ini, Ketua DPRD Bontang Andi Faizal Sofyan Hasdam mengungkapkan keprihatinannya dan menekankan perlunya pendekatan yang lebih serius untuk menangani masalah stunting. "Indikator kemiskinan memang tergantung pada cara perhitungannya, tetapi tingginya angka stunting menunjukkan bahwa kita harus lebih serius dalam menangani masalah ini," ujarnya.

Andi menjelaskan, bahwa angka kemiskinan ditentukan berdasarkan pendapatan per kapita per bulan, dengan ambang batas kemiskinan sebesar Rp763.661 per bulan. "Jika pengeluaran rumah tangga berada di bawah angka tersebut, maka mereka dianggap miskin," katanya. 

Meski begitu, angka kemiskinan yang rendah di Bontang tidak serta merta mencerminkan kualitas hidup yang baik, terutama dalam hal kesehatan anak-anak.

Menurutnya, meskipun angka kemiskinan di Bontang rendah, pemerintah harus terus mendorong edukasi tentang gizi dan kesehatan sejak pranikah, selama kehamilan, dan dalam pola asuh anak. 

"Stunting bukan hanya masalah pemberian gizi setelah anak lahir, tapi juga harus dimulai dari tahap awal seperti kehamilan dan pola asuh," tutur Andi. 

Menurut Andi, hal ini menunjukkan bahwa stunting bisa terjadi bukan hanya karena kekurangan gizi pada anak, tetapi juga karena kurangnya pemahaman dan edukasi terkait asupan gizi dan kesehatan sejak dini.

Andi menyoroti pentingnya pengelolaan anggaran yang tepat dalam penanganan stunting. "Anggaran untuk penanganan stunting seharusnya digunakan secara efektif untuk pemberian makanan bergizi, bukan hanya untuk rapat-rapat," tandasnya. 

Ia menekankan bahwa alokasi dana harus diarahkan secara langsung untuk kepentingan masyarakat, khususnya dalam hal peningkatan gizi anak-anak dan ibu hamil.

Fenomena ini menyoroti pentingnya pemahaman komprehensif tentang kemiskinan dan stunting. Meski rendahnya angka kemiskinan bisa menjadi indikator kesejahteraan ekonomi, hal itu belum tentu mencerminkan kondisi kesehatan masyarakat secara keseluruhan. 

Kota Bontang, dengan segala potensinya, masih harus berjuang untuk memastikan bahwa kesejahteraan ekonomi berjalan seiring dengan kesehatan generasi mudanya. 

Dengan kondisi ini, diperlukan kerjasama dari semua pihak, mulai dari pemerintah, DPRD, hingga masyarakat untuk bersama-sama mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah stunting. 

Upaya edukasi dan peningkatan gizi tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, tetapi menjadi tugas bersama untuk menciptakan generasi yang lebih sehat dan sejahtera di Kota Bontang. (Adv)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Mohamad Alawi
Editor : Satria Galih Saputra

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV