SUARA INDONESIA, SURABAYA – Kasus pembacokan yang menewaskan Jimmi Sugito Putra, seorang warga Desa Ketapang Laok, Kabupaten Sampang, akhirnya terkuak setelah dilakukan penyelidikan intensif oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jatim Kombes Pol Farman, dalam konferensi pers di Surabaya, Kamis (21/11/2024), menjelaskan bahwa insiden yang terjadi pada Minggu, 17 November 2024, dipicu oleh konflik internal antara dua tokoh agama yang memiliki hubungan saudara.
Awal Permasalahan
Farman memaparkan kronologi peristiwa yang bermula dari kunjungan calon Bupati Sampang nomor urut 2, Slamet Junaidi, ke Padepokan Babussalam milik Kiai Mualif sekitar pukul 14.30 WIB.
Karena kunjungan tersebut mendadak, Kiai Mualif meminta santrinya untuk mengumpulkan jamaah guna menyambut kedatangan Slamet.
Namun, kunjungan itu memantik ketegangan ketika diketahui oleh Kiai Hamduddin, saudara Kiai Mualif sekaligus tokoh agama yang dianggap lebih senior di Desa Ketapang Laok.
“Kiai Hamduddin merasa tersinggung karena kunjungan Slamet dilakukan tanpa izin atau pemberitahuan terlebih dahulu kepadanya. Ia memandang hal ini sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap norma sosial setempat,” ujar Farman.
Ketegangan memuncak ketika pihak Kiai Hamduddin memblokade jalan utama menuju Padepokan Babussalam menggunakan mobil dan potongan kayu untuk menghalangi akses keluar rombongan Slamet.
Konfrontasi Dua Kelompok
Ketidakpuasan atas blokade jalan tersebut membuat pihak Kiai Mualif, termasuk korban Jimmi Sugito Putra, mendatangi kediaman Kiai Hamduddin untuk meminta pembukaan jalan.
Namun, permintaan ini ditolak mentah-mentah. Dalam suasana tegang, salah satu anggota kelompok Kiai Mualif melontarkan tantangan dengan logat Madura, "Mon acorok gih degik yeh" (Kalau mau carok nanti saja).
“Komentar tersebut makin memperkeruh suasana,” ungkap Farman. Rombongan Slamet akhirnya memilih jalan alternatif untuk meninggalkan lokasi, tetapi tak lama setelah itu, terjadi cekcok hebat antara dua kelompok yang membawa nama dua kiai tersebut.
Dipicu Isu Pemukulan
Farman menjelaskan, konflik verbal berubah menjadi kekerasan fisik setelah tersebar isu bahwa kelompok Kiai Mualif telah memukul Kiai Hamduddin. “Isu ini membuat kelompok Kiai Hamduddin marah hingga terjadi penganiayaan terhadap Jimmi Sugito Putra,” jelas Farman.
Dalam insiden tersebut, Jimmi yang berusaha melindungi rekannya, Asrofi, dari kejaran massa, menjadi korban kekerasan brutal yang berujung pada kematiannya.
Tetapkan Tiga Tersangka
Setelah melakukan penyelidikan, polisi menetapkan tiga tersangka utama dalam kasus ini, yakni Moh Suaidi, Fendi Sranum, dan Abdul Rohman. Ketiganya dijerat dengan Pasal 170 ayat 2 ke-3e KUHP tentang kekerasan yang mengakibatkan kematian dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
“Kami telah menahan ketiga tersangka di Rutan Polda Jatim. Proses hukum akan dilakukan dengan transparan untuk memberikan keadilan kepada keluarga korban,” tegas Farman.
Tantangan Penegakan Hukum
Kasus ini menyoroti kompleksitas konflik berbasis kekerabatan dan peran agama di masyarakat Madura. Ketegangan seperti ini kerap dipicu oleh persoalan sepele yang kemudian meluas menjadi konflik fisik akibat tradisi carok-sebuah budaya yang menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan.
Polda Jatim kini dihadapkan pada tantangan untuk memastikan konflik serupa tidak terulang, terutama di tengah situasi politik yang memanas menjelang Pilkada Sampang.
Kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya pendekatan mediasi dan komunikasi yang lebih baik antar-tokoh masyarakat untuk menghindari eskalasi konflik.
Jimmi Sugito Putra kini telah tiada, meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan komunitasnya. Namun, kasus ini membuka mata bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu demi menciptakan ketertiban di masyarakat. “Kami berharap semua pihak bisa belajar dari kejadian ini,” pungkas Kombes Farman. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Dona Pramudya |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi