Oleh: Irwan Kurniadi*
Pelaku perusakan Cagar Budaya (CB) berdasarkan regulasi UU RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang CB minimal harus dikenai denda 500 juta atau penjara setahun. Sementara, ancaman hukuman maksimalnya sampai 15 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 10 Miliar. Sanksi pidananya cukup berat. Jika merusak sanksi pidananya 1 tahun hingga 15 tahun dan atau denda sampai Rp 5 Miliar. Jika mencuri, sanksinya penjara 6 bulan sampai 10 tahun dan atau denda paling banyak Rp 2,5 Miliar. Terhadap sanksi kepada penadah sendiri, dari hasil curian cagar budaya tersebut, sanksi pidananya 3 tahun hingga 15 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 10 Miliar.
Lumayan berat jika kita membacanya bukan?Sebuah ancaman yang memberikan efek jera atau solutif atas sebuah pelanggaran hukum atau tidak? Ini adalah sebuah pertanyaan besar ketika kita tidak mendapati yurisprudensi secara "kuat" dan tidak kuantitatif dari berbagai persoalan kecagarbudayaan di tanah air. Mengapa hal ini menarik dibahas? Karena salah satu kasus dugaan perusakan bangunan CB yang terkini dan mencuat di Kabupaten Situbondo membutuhkan solusi penanganan.
Sebagaimana dilansir sejumlah media, telah terjadi pembongkaran bangunan dari bagian bangunan pendopo Bupati Situbondo. Diketahui bangunan tersebut berstatus ODCB karena telah didaftarkan dengan nomor 03/030/TP.STB.2020 pada OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait. Secara regulasi, tentu objek yang telah terdaftar yang diistilahkan ODCB itu mendapat perlakuan sama sebagai Cagar Budaya (CB). Dalam artian, telah dilindungi undang-undang. Kecuali belum terdaftar, tentu berbeda menyikapinya.
Pembongkaran bangunan tersebut harus disikapi dengan serius dalam upaya pelestarian cagar budaya dan tidak menjadi preseden buruk ke depannya. Apalagi, di Kabupaten Situbondo, dasar hukum atas perlakuan CB atau ODCB (Objek Diduga Cagar Budaya) juga diatur dalam Perda Pengelolaan Cagar Budaya Daerah Nomor 3 Tahun 2016 serta Peraturan Bupati Kabupaten Situbondo Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Cagar Budaya Daerah. Apakah deretan regulasi itu hanya pajangan semata semacam Can-macanan Kaddhu' alias kostum dan topeng macan-macanan yang tidak mampu "memangsa" ?
Kegamangan menyikapi dugaan perusakan itu tentu memang minimnya penanganan hukum kasus-kasus serupa. Salah satu yurisprudensi di Indonesia untuk perusakan bangunan CB adalah vonis Majelis hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta berupa denda Rp 500 juta kepada dua terdakwa perusakan gedung SMA ”17” 1 Yogyakarta, Mochamad Zakaria dan Yogo Trihandoko.
Bangunan gedung tersebut merupakan bangunan cagar budaya sehingga kedua terdakwa berjanji memperbaiki bangunan yang telah mereka rusak selain harus membayar denda. Jika tidak, pilihan lainnya, hukuman itu bisa diganti dengan kurungan selama 12 bulan atau setahun.
Berdasarkan jejak digital, salah satunya pemberitaan tribunnews.com, perusakan bangunan SMA ”17” 1 Yogyakarta oleh sejumlah orang yang terjadi pada 11 Mei 2013 yaitu pada bagian atap, plafon, pintu, jendela, dan dinding. Padahal, gedung yang terletak di Jalan Tentara Pelajar, Yogyakarta, itu ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta bernomor 210/KEP/2010.
Nilai penting bangunan SMA ”17” 1 Yogyakarta dari aspek sejarah karena pernah dijadikan markas Tentara Pelajar pada masa perang kemerdekaan. Dari aspek arsitektur bangunan juga unik, yakni memadukan unsur Jawa dan Eropa, atau model arsitektur indisch.
Setelah terjadi perusakan, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta membentuk tim penyidik pegawai negeri sipil untuk menyidik kasus tersebut. Jaksa menuntut kedua terdakwa dengan pidana denda Rp 600 juta atau kurungan 12 bulan penjara.
Hakim Merry Taat kala itu menyatakan, pembongkaran bangunan SMA ”17” 1 Yogyakarta dilakukan sekitar 30 tukang, diperintah oleh kedua terdakwa. Yogo bertindak mengawasi perusakan itu. Pembongkaran dilakukan saat aktivitas belajar- mengajar berlangsung sehingga kasus itu disaksikan oleh guru dan murid. Selain perusakan bangunan dilakukan secara sengaja, bahkan terencana, tindakan itu, membuat nilai historis monumental yang terdapat pada bangunan SMA ’17’ 1 Yogyakarta hilang. Kala itu terdakwa didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Perkara tersebut berawal dari sengketa lahan.
Lantas bagaimana dengan yang terjadi di Kabupaten Situbondo? Apakah pendekatan hukum adalah satu-satunya dalam menyikapi dan menangani persoalan CB? Jawabannya, tentu kasuistik sifatnya bagi setiap daerah.
Potensi ke meja hijau tidak menutup kemungkinan. Namun tahapannya, yang terpenting ada pengkajian dari pihak yang berwenang ketika sebuah objek "diganggu" keberadaannya. Tujuannya, selain mengedukasi nilai penting CB itu sendiri juga mengawal penanganan kecagarbudayaan pada setiap program-program yang diniscayakan juga akan bersinggungan dengan urusan pelestarian CB ke depan.(*)
*Penulis adalah Ketua Umum YMBS (Yayasan Museum Balumbung Situbondo) , Ketua TCB- YMBS (Tim Cagar Budaya- Yayasan Museum Balumbung Situbondo) Pusat serta anggota TACB (Tim ahli Cagar Budaya) Kabupaten Situbondo, bergiat di balumbung.com
email: [email protected]
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Redaksi |
Editor | : Irwan Kurnia |
Komentar & Reaksi