SUARA INDONESIA

Belasan Tahun Harga Stagnan, Petani Kopi Dampit Malang Sambat

Gito Wahyudi - 18 September 2020 | 20:09 - Dibaca 5.64k kali
Ekbis Belasan Tahun Harga Stagnan, Petani Kopi Dampit Malang Sambat
Petani Kopi Lereng Gunung Arjuno. (Foto: Swandy Tambunan)

KABUPATEN MALANG - Kopi sebagai tanaman ikon Kabupaten Malang khususnya di daerah Dampit dan lereng Gunung Arjuno harganya relatif stagnan belum pernah beranjak dari harga Rp 20.000 sampai dengan Rp 25.000 sejak tahun 2000-an.

Berbagai komoditas pertanian perkebunan harganya tidak cukup bagus menyebabkan masyarakat petani kopi sambat (mengeluh). 

Petani kopi Kecamatan Dampit hingga kini nasibnya merana karena sudah belasan tahun harga tidak kunjung naik. 

"Kami merasa prihatin. Kopi ini kan tanaman ikon Kabupaten Malang, masak harganya belum pernah beranjak dari harga Rp 20.000 sampai dengan Rp 25.000 sejak tahun 2000- an," tandas Petani Kopi Dampit Tamin, Jumat (18/09/2020).

Tamin mengungkapkan, desa penghasil kopi di Kecamatan Dampit antara lain Sukodono, Srimulyo, Baturetno, Bumirejo, Amadanom dan sebagian Sumbersuko.

"Desa terbanyak penghasil kopi ya Sukodono, Baturetno, Srimulyo dan Bumirejo," ujar Tamin.

Tamin menuturkan, stagnannya harga ini karena memang kopi itu bukan komoditas sembako yang mutlak dibutuhkan oleh pasar tetapi sebagai konsumsi sekunder. 

"Namun demikian selayaknya industri petani kopi terlindungi maka diharapkan harga kopi bisa lebih baik," imbuh Tamin. 

Supply dari Sumawe

Selain daerah yang sudah disebutkan tadi, ternyata kopi juga di supply dari Sumawe. "Tetapi sebagian besar kami juga disupply dari Kecamatan Sumbermanjing Wetan (Sumawe)," terang Tamin.

Tamin menjelaskan,  perkiraan jumlah petani kopi ada sebanyak 2500 petani.

Harga Stagnan

Menurut Tamin, harga kopi tidak bisa naik, salah satunya karena dikuasai oleh pedagang besar yang berada di Pasar Dampit.

Ia mengungkapkan, dengan harga yang sekarang petani merasa rugi, karena tidak bisa menutup biaya oprasional.

Beberapa upaya telah dijalankannya agar tidak rugi, semisal melakukan diversifikasi horizontal (tumpang sari tanaman dalam satu kebun, seperti Kopi, Pisang, Cengkeh, Kelapa dan Jahe).

Diversifikasi vertikal (dengan menaikkan mutu dan kualitas dari kopi asalan ke kopi premium atau petik merah).

Tapi, lanjut Tamin, selama ini kopi dijual sebagian besar ke Pasar Dampit dan sebagian kecil dipasarkan ke kafe-kafe dan UKM di Malang Raya.

Hasilkan 200 Ton

Tamin mengatakan, potensi hasil kopi jenis Robusta di satu desa kurang lebih 150 ton sampai 200 ton. 

"Sementara dengan gerakan pengenalan kopi sebagai usaha untuk memperkenalkan dan mengembalikan ciri khas serta taste rasa khas Dampit maka solusinya kita pangkas rantai pasok dari produsen langsung ke konsumen. Sehingga single origin asli bisa diketemukan," terang Tamin.

Menurutnya, model pemasaran selama ini adalah melalui pasar regular kafe-kafe di Jawa Timur dengan menjual Green Bean dan Roast Bean.

Butuh Sinergi

Tamin mengatakan hal yang diinginkan petani agar lebih berdaya adalah melakukan penguatan kelembagaan dan teknis budidaya tanaman Kopi sesuai dengan standarisasi Kementerian Pertanian.

Ia mengungkapkan, dibutuhkan sinergi antara perusahaan swasta, akademisi dan Pemkab Malang.

 "Kalau bisa saling bersinergi dan saling mencari solusi agar nilai tawar dan nilai jual meningkat," urai Tamin.

Tamin berharap nilai jual Kopi sebanding dengan 3 kilo beras karena dalam waktu kurun satu musim selama ini satu kilo Kopi sebanding dengan 2 kilo beras nilai jualnya.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Gito Wahyudi
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya