BANYUWANGI- Batik motif Covid-19 yang dikembangkan salah satu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Batik Mertosari asal Desa Balak, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi diminati para konsumen.
Owner Batik Mertosari, Fitriyah mengatakan sejak pandemi banyak konsumen yang mencari batik motif Covid-19. Karena menurutnya, motif batik yang cepat terjual di khalangan masyarakat yakni batik yang mengikuti tren saat ini.
"Dari sekian jenis motif yang saya buat, paling laris motif Covid-19. Karena mengikuti tren orang sekarang ini," ucap Fitriyah pada sela-sela bazar UMKM di halaman Kecamatan Songgon, Sabtu (27/3/2021).
Dia menceritakan, motif batik Covid-19 yang dibuatnya itu terinspirasi awal dari adanya Covid-19 yang sudah satu tahun melanda Indonesia.
"Jadi saya menciptakan sebuah motif Covid-19, karena momennya momen Covid-19, dan ternyata bisa dibuat motif dan saya tuangkan dalam kain. Semenjak ada Covid-19 dibuatlah motif ini," jelas Fitriyah.
Ia mengaku, jika dirinya satu-satunya penggiat batik di Banyuwangi yang menciptakan motif Covid-19. Setiap batik motif Covid-19 yang dibuat juga memiliki warna yang berbeda-beda, agar menarik banyak pembeli.
"Untuk harganya kalau dalam bentuk kain, karena ini semi tulis kita jual kurang dari Rp 200 ribu rupiah. Menyesuaikan dengan motif dan pekerjaannya," kata wanita yang sudah 5 tahun bergelut di industri batik ini.
Dia menyebut, konsumen yang tertarik dengan batik buatannya itu tidak hanya dari lokal Banyuwangi, tetapi juga dari luar daerah seperti wilayah Bojonegoro, Jakarta, hingga Kalimantan.
"Alhamdulilah untuk motif Covid-19 ini banyak diburu, untuk saat ini saya kebanyakan mengerjakan pesanan. Setiap satu Minggu saya merebus sampai kain 50 untuk motif ini saja," ungkap Fitriyah.
Selain motif Covid-19, Batik Mertosari juga menyediakan batik motif lokal Songgon yang sudah dipatenkan. Mulai dari motif durian, manggis, rambutan, hingga motif Sulurgodong yang diambil dari potensi lokal. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Wildan Muklishah |
Komentar & Reaksi