SUARA INDONESIA

Aktivis Perempuan Jatim Miris Lihat Pelajar Ikuti Tren Self Harm, Imbas Konten Negatif Media Sosial

Lukman Hadi - 26 October 2023 | 09:10 - Dibaca 1.40k kali
News Aktivis Perempuan Jatim Miris Lihat Pelajar Ikuti Tren Self Harm, Imbas Konten Negatif Media Sosial
Aktivis perempuan Lia Istifhama. (Foto: Istimewa/Suara Indonesia)

SURABAYA, Suaraindonesia.co.id - Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan peristiwa adanya 76 siswi salah satu sekolah (SMPN) di Magetan, Jawa Timur, nekat kompak melakukan self harm dengan cara menyayat pergelangan tangan mereka sendiri.

Self harm merupakan tindakan melukai diri sendiri. Perilaku nekat puluhan siswi tersebut diduga karena asik mengikuti tren TikTok barcode Korea.

Fenomena tak masuk akal sehat itu direspons tokoh perempuan milenial, Lia Istifhama, yang menyebutkan hal itu menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi semua untuk menjaga karakter mental anak bangsa, dari tren negatif hanya demi kepentingan konten media sosial (medsos).

"Perkembangan moral anak bangsa, tak lepas dari tanggung jawab kita semua, para orang tua yang seharusnya mampu menjaga kelangsungan karakter positif mereka. Apalagi, jika moral anak-anak dan remaja mudah terbawa tren atau demi konten sosial media, yang kemudian terjadi sebuah perilaku yang tidak memiliki manfaat, melainkan justru masalah," ujar Lia kepada media, Kamis (26/10/2023).

Aktivis Fatayat Jatim itu menjelaskan, soal bagaimana pentingnya membangun pikiran positif yang tidak terjebak Toxic Positivity. 

"Toxic positivity adalah sebuah obsesi untuk selalu memiliki pikiran positif dan menolak emosi negatif, seperti sedih, kecewa, dan takut, walaupun dalam keadaan buruk. Padahal ini justru tidak benar. Karena manusiawi jika manusia ingin menangis saat ia merasa rapuh, kecewa saat menghadapi sesuatu hal yang tidak sesuai keinginannya, atau ketakutan menghadapi kesalahan," jelas Ning Lia, yang juga keponakan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa itu.

Ia menyampaikan, sebagaimana manusia setiap insan mempunyai kekurangan dan kelebihan. Yang artinya, jauh dari kata kesempurnaan. Mungkin, kata Lia, pemahaman demikian yang perlu ditanamkan ke pemikiran generasi muda.

"Jadi harus mampu berdamai dan menerima kekurangan diri. Jangan memaksa kuat jika sedang lemah, tapi coba lalui setiap masalah dengan cara menyelesaikan satu per satu. Jangan kemudian mencari solusi dengan mencari kelegaan diri melalui panjat sosial atau mengikuti tren sosial media semata," tuturnya.

Lia melanjutkan, anak-anak dan remaja harus diyakinkan pada prinsip hidup harus dihadapi bukan dibebani, apalagi beban  mengikuti tren media sosial. Kemudian, mereka harus didukung untuk memiliki karakter tangguh.

"Kita semua kan pernah anak-anak, pernah remaja, jadi harus memahami bahwa pertumbuhan psikis, tergantung orang di sekitar. Inilah tugas kita semua, yaitu mendampingi anak-anak dan remaja saat ada masalah, dengan memberikan motivasi bahwa setiap masalah bisa diselesaikan," tukas Ning Lia. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Lukman Hadi
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV