KUTAI TIMUR - Kokon, pria paruh baya penyandang difabel asal Desa Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon, Kutim, ingin mengadu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pusat atas apa yang dialaminya dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Keinginan tersebut, tercetus ketika pria yang hidup seorang diri di rumah kayu berukuran 8x12 meter ini kehidupannya kian memprihatinkan pasca rumah walet yang menjadi penopang untuk bertahan hidup dalam keterbatasannya saat ini hasilnya kian menurun tiap tahunnya. Retakan juga nampak tergambar di salah satu sisi bangunan yang berada tepat di sebelah rumah yang dihuninya tersebut.
Hal tersebut menurutnya diduga akibat dampak dari perubahan lingkungan, blasting dan debu dari kegiatan pertambangan yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya.
Pria yang kini anggota badannya tak lagi utuh akibat kecelakaan tersebut berharap ada perhatian khusus dari stakeholder terkait yang mau memperjuangkan haknya dan juga warga di sekitar lokasi yang butuh udara segar tanpa debu pekat, air bersih dan lingkungan yang sehat dan tenang.
"Jika saya masih dalam keadaan normal dan berkecukupan, ingin rasanya saya mengadu langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup ataupun instansi pemerintahan lainnya di pusat yang bisa merespons langsung nasib masyarakat kecil seperti kami ini. Saya ingin mengundang, bertanya dan memperlihatkan langsung kepada mereka, bagaimana keadaan disini," ucapnya saat ditemui awak media di tempat tinggalnya yang berada di KM 10 Desa Tebangan Lembak Kecamatan Bengalon, Minggu (24/10/2021).
Menurutnya, getaran blasting dalam sehari bisa hingga 3 kali dirasakan, sedangkan debu dari aktifitas tambang yang mengepung rumahnya dan juga puluhan kepala keluarga yang berada di RT 01 hingga 03 Desa Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon tersebut hanya dapat dipasrahkan ke arah angin membawa. Ketika berhembus ke arah rumahnya dan pemukiman penduduk, dirinya dan warga setempat hanya bisa pasrah menerima, meskipun diketahuinya dampak dari debu tambang pada kesehatan manusia.
"Kalau lingkungannya saja sudah berubah, ya kemungkinan pergi cari habitat baru, hanya dugaan saja sih, semoga saja tidak benar. Kalau debu bisa dilihat sendirilah seperti apa kalau pas cuaca panas, semakin tahun sarang walet yang dihasilkan semakin sedikit, kalau terus seperti ini entah mana yang lebih dulu, antara perginya semua burung walet atau rubuhnya rumah walet saya, yang dapat saya pastikan adalah dampaknya bagi penyandang difabel seperti saya ini," ucapnya.
Meskipun demikian, pria yang sudah berusia lebih dari separuh abad tersebut juga menegaskan tidak akan menawarkan lahan dan tempat tinggalnya tersebut kepada perusahaan tambang yang beroperasi di lokasi tersebut untuk dibebaskan. Meskipun dirinya saat ini harus menerima dampak langsung dari aktifitas tambang di sekitar tempat tinggalnya itu.
Dirinya hanya bisa berharap, perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar tempat tinggalnya lebih peka dan sadar diri atas dampak yang ditimbulkan dari hasil aktifitas tambang mereka. Karena menurutnya, dampak dari kegiatan tersebut tak hanya dia yang merasakan namun juga dirasakan banyak masyarakat di sekitar secara langsung.
"Mereka (perusahaan) harusnya bisa memikirkan dulu apa dampak dari aktifitas usahanya terhadap warga seperti kami ini, bukan kami warga yang telah bermukim sebelum mereka yang mengemis dan mengetuk pintu mereka untuk meminta solusi atas dampak yang ditimbulkan yang ujung-ujungnya harus menawarkan lahan kami untuk dibebaskan. Kami bukan burung yang bisa langsung bermigrasi jika lingkungan tempat tinggal kami terganggu," tegasnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Eki Adi Nugroho |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi