SUARA INDONESIA

Jurnalis di Banyuwangi Bersama Stakeholder Kupas Tuntas Pentingnya Mitigasi Bencana Sejak Dini

Muhammad Nurul Yaqin - 22 December 2022 | 21:12 - Dibaca 1.73k kali
Peristiwa Daerah Jurnalis di Banyuwangi Bersama Stakeholder Kupas Tuntas Pentingnya Mitigasi Bencana Sejak Dini
Dari kiri wartawan detikcom Ardian Fanani (moderator), pemateri mitigasi bencana dari Ketua Harian Geopark Ijen Abdillah Baraas (tengah) dan Plt Kalaksa BPBD Kabupaten Banyuwangi Mujito (kanan). (Muhammad Nurul Yaqin/suaraindonesia.co.id).

BANYUWANGI - Pentingnya mitigasi bencana dikupas tuntas saat acara diskusi Jurnalis Melek Mitigasi "di Balik Eksotisme Banyuwangi" yang digelar, Kamis (22/12/2022) di Ruang Khusus DPRD setempat.

Acara yang digagas oleh Forum Edukasi Wartawan itu menghadirkan dua narasumber, yakni Ketua Harian Geopark Ijen Abdillah Baraas dan Plt Kalaksa BPBD Kabupaten Banyuwangi Mujito.

Diskusi itu dihadiri oleh puluhan jurnalis, relawan kebencanaan, kelompok sadar wisata (Pokdarwis), instansi pemerintahan terkait seperti DLH, Dinas PU Pengairan, DPU CKPP hingga Dinas Sosial. 

Tak tanggung-tanggung, Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Sony T. Danaparamita, turut mengikuti acara diskusi mitigasi kebencanaan tersebut.

Berdasarkan Kajian Risiko Bencana (KRB) yang disusun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyuwangi, ada sebanyak 16 risiko ancaman bencana alam di wilayah ini.

Antisipasi dini mutlak diperlukan untuk meminimalisir adanya korban jiwa dari setiap bencana yang terjadi. Peran serta seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, komunitas, akademisi, hingga media perlu ditingkatkan.

Menurut pemaparan Abdillah Baraas, bencana skala besar beberapa kali terjadi di Banyuwangi pada masa lampau. Salah satunya, Tsunami di Pancer tahun 1994 yang menyebabkan 250 orang tewas, 127 hilang, dan 1.500-an rumah rusak parah.

Contoh lainnya, bencana letusan Gunung Raung. Gunung yang berada di wilayah Banyuwangi, Jember, Bondowoso itu tercatat meletus hebat pada 1586.

Letusan Gunung Raung terulang beberapa kali dan menyebabkan banyak korban.

Menurut Abdillah, bencana sejatinya adalah fenomena alam. Fenomena itu memiliki siklus alami yang akan berulang.

"Ada tidaknya manusia, fenomena alam itu akan terjadi. Ada siklusnya. Akan tetapi, keberadaan manusia mempercepat siklus tersebut," kata dia.

Ia mencontohkan, bencana banjir akan tetap terjadi andai manusia tak ada. Banjir terjadi karena keberadaan gunung berapi yang membuat aliran sungai di masa lalu.

"Banjir itu punya siklus. Misalnya, 100 tahunan terjadi banjir karena adanya sedimentasi yang terjadi secara alami. Tapi, aktivitas manusia yang memproduksi sampah di daerah sungai membuat siklus itu berlangsung lebih cepat, misalnya menjadi 2 atau 3 tahun sekali," sambung dia.

Pun demikian dengan tanah longsor. Tanpa adanya aktivitas manusia, tanah longsor bisa terjadi akibat kandungan mineral dalam bebatuan habis terhisap oleh tumbuhan.

Tak adanya kandungan mineral membuat batu lapuk hingga menyebabkan tanah mudah longsor.

"Namun, aktivitas manusia yang dapat membuat tanah longsor semakin mudah terjadi," sambung Abdillah.

Menurut Abdillah, risiko-risiko bencana di Banyuwangi bisa dicegah dengan peran serta semua pihak.

Seluruh lapisan masyarakat, kata dia, harus diedukasi agar mengerti ancaman bencana di daerahnya.

Dengan mengetahui ancaman, mereka bisa mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu bencana terjadi. Hal ini meminimalisir risiko korban jiwa.

Selain itu, rencana tata ruang harus diperketat untuk kepentingan kebencanaan. Rencana tata ruang wilayah harus disesuaikan dengan kajian risiko bencana.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan struktur bangunan di suatu wilayah dengan risiko ancaman bencana.

Bangunan tahan gempa, misalnya, harus dibangun di daerah dengan tingkat kerawanan gempa tinggi.

"Perlu juga adanya kurikulum tanggap bencana. Dulu tahun 1930, di sekolah rakyat (SR) diajarkan soal kebencanaan. Ini sekarang yang tidak kita temukan," lanjut Abdillah.

Terakhir, diperlukan pengawasan ketat terhadap perubahan kondisi geologi. "Ini menjadi tanggung jawab kita bersama," tutur Abdillah.

Plt Kalaksa BPBD Kabupaten Banyuwangi Mujito mengatakan, untuk meningkatkan mitigasi bencana di tingkat terbawah, pihaknya telah membentuk kelompok desa tangguh bencana (Destana) di 17 desa.

Jumlah itu masih minim apabila dibandingkan dengan jumlah desa/kelurahan di Banyuwangi yang mencapai 217.

Mujito berharap, jumlah destana ke depan bisa bertambah lebih banyak dari tahun ke tahun.

Untuk edukasi dini, BPBD Banyuwangi juga akan meluncurkan program bocah tangguh bencana. Anak-anak usia SD hingga SMA bakal diedukasi untuk memahami bahaya bencana.

"Kami harapkan bocah-bocah di Banyuwangi melek bencana. Mereka akan mengerti mitigasinya seperti apa?, apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana, mengerti juga bencana apa saja yang mengancam di wilayahnya," tutur Mujito.

Program ini akan diluncurkan akhir Desember 2022. Bocah-bocah yang menjadi sasaran adalah mereka yang tinggal di daerah rawan.

"Seperti Kecamatan Licin, Kalibaru, dan Banyuwangi. Lalu daerah di sekitar selatan," tutur dia.

Ketua Panitia Diskusi Mitigas Bencana, Enot Sugiharto mengatakan, diskusi itu digelar sebagai forum mengurai permasalahan bencana yang ada di Banyuwangi.

Dalam beberapa pekan terakhir, Banyuwangi juga dilanda bencana secara berturut-turut. Salah satunya banjir bandang di Kecamatan Kalibaru.

Sebagai daerah tujuan pariwisata, menurut Enot, berbagai pihak di Banyuwangi harus memahami risiko-risiko kebencanaan.

"Sehingga apabila bencana alam sewaktu-waktu datang, korban jiwa bisa diminimalisir," kata dia.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Muhammad Nurul Yaqin
Editor : Bahrullah

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya