SUARA INDONESIA

Pengamat Terorisme UB Sebut Pelibatan TNI Bentuk Sekuritisasi

- 12 October 2020 | 21:10 - Dibaca 5.35k kali
TNI/Polri Pengamat Terorisme UB Sebut Pelibatan TNI Bentuk Sekuritisasi
Pengamat Terorisme Internasional HI (Hubungan Internasional) FISIP Universiras Brawijaya (UB) Yusli Effendi.

KOTA MALANG - Pengamat Terorisme Internasional HI (Hubungan Internasional) FISIP Universiras Brawijaya (UB) Yusli Effendi, menyampaikan kekhawatirannya apabila TNI terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia melalui tanpa pembatasan.

Menurutnya akan menggeser kerangka strategi menangani terorisme dari model sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan model perang (War Model). 

"Pelibatan TNI perlu diatur teknisnya, harus dijelaskan situasi dan eskalasinya, apakah nanti bersifat militerisasi penuh atau perbantuan terbatas," terang Yusli Effendi, Senin (12/10/2020) dalam diskusi online secara terbuka bertema Penanganan Terorisme oleh TNI: Risiko dan Tantangan.

Kegiatan ini merupakan hasil sinergi antara Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kota Malang bekerjasama dengan Jurusan PPHI (Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Hubungan Internasional) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya.  

Seperti diketahui, terorisme merupakan kejahatan serius (serious crime) yang membawa dampak kerusakan pada beragam tingkatan. Bertahun-tahun negara Indonesia berperang melawan terorisme.

Sebagai salah satu upaya kontra-terorime, pemerintah membentuk BNPT tahun 2010 dan diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2018. UU ini menetapkan proses penanganan terorisme melalui skema peran dan kewenangan yang terdistribusi antar lembaga pemerintah, seperti BNPT, Kepolisian dan Kejaksaan. 

Prinsip utama dari penanggulangan terorisme dalam UU ini adalah penegakan hukum atas aksi dan tindakan pidana terorisme. Kepolisian dengan ini menjadi institusi garda depan yang berkewenangan dalam penegakan hukum dan penindakan. Meski diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018, Pemerintah melalui Presiden berencana mengeluarkan Perpres yang mengatur fungsi dan kewenangan tentara (TNI) dalam penanggulangan terorisme.

Dibuatkan Pagar

Yusli mengungkapkan, otoritas sipil, dalam hal ini presiden dibantu BNPT, merupakan aktor yang berwenang menentukan status eskalasi konflik yang membutuhkan keterlibatan TNI. 

Setelah menjadi penentu status konflik, Pemerintah harus membuatkan "pagar" yang membatasi pelibatan militer sejauh apa. Yang perlu digarisbawahi, pelibatan ini merupakan pilihan terakhir (last resort), dilakukan dengan menghindari korban jiwa sipil, dan dilakukan ketika sumber daya sipil terbatas atau polisi tidak mampu, serta bersifat sementara atau terbatas. 

Ia menyatakan bahwa pewacanaan terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) merupakan bentuk sekuritisasi. Dalam UU No. 5/2018 terorisme didefinisikan sebagai kejahatan serius (serious crime). 

Dalam literatur Hukum Internasional, kejahatan luar biasa lebih dekat pemaknaannya dengan genosida atau kejahatan kemanusiaan berskala masif. Pemaknaan terorisme sebagai ancaman eksistensial dan pewacanaannya bahwa ia mengancam ideologi negara, kedaulatan dan keamanan negara, serta kemanusiaan, merupakan upaya sekuritisasi yang bisa menjadi tiket untuk desakan pelibatan TNI lebih mendalam dalam upaya kontra-terorisme. 

Operasi Militer Selain Perang 

Perangkat hukum yang ada (UU TNI, Tap MPR Tahun 2000, dan UU No.5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme) telah memberi kerangka militer masuk dalam ranah sipil lewat Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan perbantuan terhadap polisi.

Spirit Deradikalisasi

Sementara itu, Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si (Dekan FISIP UB) mengatakan, diskusi ini sangat penting untuk dilakukan secara terus menerus karena radikalisme memiliki kompleksitas untuk diselesaikan. 

Oleh karenanya, pihak fakultas (FISIP, red) juga akan sangat terbuka untuk mengadakan kegiatan, termasuk dengan Nahdlatul Ulama, karena ini menjadi bagian dari tugas dari akademisi.

“Kondisi radikalisme sulit untuk diselesaikan. Selain juga banyak konflik yang terjadi di tengah masyarakat mulai dari konflik SDA, konflik agraria hingga konflik etnis. Apalagi, ditambah dengan pemahaman-pemahaman agama yang dianggap menyimpang yang akhirnya berafiliasi dalam gerakan jihadis atau ekstrimis," terang Sholih Mu’adi.

Ia juga menyampaikan bahwa gerakan melawan terorisme ini merupakan tugas bersama yaitu dengan memberikan pemahaman yang kaffah kepada semua pihak.

"Kita harus memberikan pemahaman yang kaffah kepada semua pihak. Seluruh saudara-saudara kita, mahasiswa kita, pemuda-pemuda dan elemen bangsa lainnya. Kita harus terus bersemangat karena kita sudah berkomitmen dalam memerangi isu dan gerakan radikalisme sebagai wujud tanggung jawab dari agent of change,” imbuhnya. (had)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta :
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya