SUARA INDONESIA, BONTANG - Kota Bontang diguncang oleh kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang pimpinan pondok pesantren berinisial FM terhadap santrinya. Kasus ini telah menyita perhatian publik dan menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk dari Anggota DPRD Kota Bontang Adrofdita.
Adrofdita, dengan tegas menyampaikan rasa kecewanya terhadap tindakan tak bermoral yang dilakukan oleh oknum pimpinan pondok pesantren tersebut. "Ini adalah pelanggaran berat terhadap kepercayaan yang diberikan oleh para orang tua yang menitipkan anak-anak mereka untuk dididik di pesantren. Sangat disayangkan bahwa seorang yang seharusnya menjadi teladan malah melakukan tindakan asusila seperti ini," ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dengan nada prihatin, Senin (12/8/2024).
Kasus yang melibatkan FM kini telah memasuki babak baru dalam proses hukum. Dalam sidang terakhir, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan hukuman 11 tahun penjara, setelah menilai bahwa FM terbukti melanggar Pasal 82 ayat 1 juncto Pasal 76E UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adrofdita menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga pendidikan agama seperti pesantren. Ia mengungkapkan bahwa saat ini Rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pesantren sudah masuk dalam Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Kota Bontang pada tahun 2024 ini.
"Saya berharap Perda ini dapat segera disahkan, dengan aturan yang memungkinkan Pemerintah Kota untuk ikut campur dalam pengawasan pesantren, sehingga kasus seperti ini tidak terulang lagi," katanya.
Salah satu poin penting yang diusulkan oleh Adrofdita dalam Perda Pesantren adalah pengaturan yang lebih jelas mengenai pemisahan pembina antara santri putra dan santri putri.
"Kita harus memastikan bahwa santri putri dibina oleh ustazah, dan santri putra dibina oleh ustadz. Ini untuk menghindari adanya potensi pelecehan dan memastikan bahwa pendidikan serta pembinaan santri berjalan sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama," jelasnya.
Adrofdita juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam menjaga moralitas dan keselamatan anak-anak di lingkungan pendidikan, terutama di lembaga-lembaga agama yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi mereka.
Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap anak-anak adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat secara luas.
"Kasus ini telah membuka mata banyak pihak tentang pentingnya pengawasan yang lebih ketat di lingkungan pesantren. Adrofdita berharap bahwa melalui Perda Pesantren yang sedang dalam proses, regulasi yang lebih ketat dan jelas dapat diterapkan, sehingga kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa mendatang," ujarnya.
Dengan adanya peraturan yang mengikat dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan bahwa pondok pesantren di Kota Bontang dapat menjadi tempat yang benar-benar aman dan nyaman bagi santri untuk belajar dan mengembangkan diri sesuai dengan ajaran agama yang benar. Peran serta pemerintah kota dalam pengawasan dan implementasi Perda ini akan menjadi kunci dalam mewujudkan lingkungan pendidikan agama yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.
Masyarakat Kota Bontang kini menantikan langkah konkret dari DPRD dan Pemerintah Kota untuk menyelesaikan kasus ini dan mencegah kasus serupa di masa depan. Perlindungan terhadap santri harus menjadi prioritas utama, karena mereka adalah generasi penerus yang akan membawa masa depan bangsa. (Adv)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Mohamad Alawi |
Editor | : Satria Galih Saputra |
Komentar & Reaksi