PROBOLINGGO, Suaraindonesia.co.id - Era digital dengan kecanggihan teknologi, menggerus omset pedagang konvensional di Pasar Gotong Royong Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Jumlah pengunjung ke pasar tradisional tersebut terus merosot dalam setahun terakhir, pendapatan pedagang pun anjlok drastis.
Hasil pantauan Suara Indonesia ke lokasi, mendapati kondisi teras depan kios pedagang busana dan kebutuhan rumah tangga di pasar itu kian memprihatinkan.
Plafon teras mulai berjatuhan karena kurang terawat, bahkan banyak kios pedagang mulai tutup.
Sementara pada beberapa kios pedagang yang masih memilih tetap buka, tampak sepi dari aktivitas pembeli. Pedagang hanya duduk di depan kios dagangan mereka sambil menunggu datangnya pembeli.
Sepinya jumlah pengunjung ke Pasar Gotong Royong Kota Probolinggo ini, dikatakan pedagang mulai terasa sejak awal tahun 2023.
Pedagang menduga, pengunjung enggan mendatangi pasar tersebut akibat banyaknya aplikasi dan platform online shop atau toko belanja daring, dampak dari perubahan zaman dengan semakin canggihnya teknologi informasi-transformasi.
Salah seorang pedagang di Pasar Gotong Royong Kota Probolinggo, Andrin, mengatakan, kian hari terus mengalami penurunan omset dari barang dagangannya.
“Sekarang memang zaman sudah berubah ya, terutama banyaknya aplikasi E-commerce. Membuat sebagian besar pelanggan kami enggan untuk keluar rumah,” ungkapnya, Kamis (05/10/2023).
Menurutnya, masyarakat saat ini mudah sekali berbelanja busana dan perlengkapan lainnya. Cukup dari rumah membuka aplikasi belanja daring sudah bisa memilih barang dan harga yang mereka suka.
“Dulu, sekitar tahun 2005 hingga tahun 2022 kemarin, berjualan pakaian di pasar ini menjadi salah satu bisnis yang menjanjikan,” kenang Andrin.
Puncak kejayaan para pedagang di Pasar Gotong Royong, dikatakan Andrin, berada di sekitar tahun 2009-2010. Untuk mendapatkan omset jutaan rupiah dalam sehari sangat mudah.
“Saat itu omset per-hari bisa mencapai dua juta rupiah, jika menjelang Hari Raya Idul Fitri bisa sampai Rp 10 juta hanya dalam sehari berjualan,” imbuhnya.
Meski begitu, Andrin dan pedagang yang menempati pasar tersebut masih enggan mengikuti perkembangan zaman saat ini. Alasannya, karena pedagang di pasar tersebut mayoritas orang tua yang tidak memahami dunia digital.
Pasar tradisional Gotong Royong Kota Probolinggo telah ada sejak sekitar 40 tahun lalu. Pada masa jayanya, pasar tersebut merupakan area paling padat dari aktivitas jual beli masyarakat.
Bukan tanpa upaya, pedagang sebenarnya telah melakukan berbagai cara untuk menarik minat pengunjung berbelanja di Pasar Gotong Royong.
Mulai dari promo dan diskon barang dagangan, hingga obral stok barang tertentu agar pembeli berminat datang dan mampir ke kios-kios pedagang.
Namun, upaya pedagang ini tak membuahkan hasil. Pengunjung semakin sepi dari hari ke hari, terutama dalam setahun terakhir. pendapatan mereka pun terus merosot, sedangkan biaya modal terus membengkak.
“Sekarang ya hanya bisa mengurangi karyawan saya, demi bisa mencukupi kebutuhan toko. Kan hasil jualan ini juga kita olah untuk kulak barang, untuk menggaji karyawan, juga untuk membayar retribusi pasar. Setiap harinya harus ada uang dua puluh ribu rupiah sebagai retribusi,” pungkasnya.
Pedagang berharap ada upaya pemerintah membantu membangkitkan kembali geliat ekonomi di Pasar Gotong Royong agar usaha mereka tak gulung tikar. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Lutfi Hidayat |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi