SUARA INDONESIA - Rancangan Kitab Udang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sempat bocor ke ruang publik memunculkan tanggapan keras dari berbagai pihak.
Seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut Pangaribuan.
Dirinya juga sepakat, dengan kritikan yang menyebut RUU KUHP terlalu banyak berpotensi lebih mendominasi hukum pidana.
Dia menjelaskan, RUU KUHP yang dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terdiri dari dua buku.
"Total ada 632 pasal. Buku kedua tindak pidana berisi 462 pasal. Sedangkan buku satu mengenai aturan umum mecakup 187 pasal," sebutnya, dalam diskusi bertajuk Kontroversi Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang digelar oleh Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Sabtu (16/7).
Padahal lanjut dia, hukuman pidana mestinya menjadi tindakan paling akhir untuk menciptakan kemanan dan ketertiban di masyarakat.
"Kritikan yang lebih tajam adalah konsep dekolonisasi dalam proses rumusan RUU KUHP sudah tidak berhasil karena jumlah delik pidananya. Lebih banyak ketimbang KUHP warisan Belanda yang dipakai di Indonesia," sebutnya.
Luhut juga menyebut, kritikan yang disampaikan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) dalam buku dua RUU KUHP setidaknya ada 555 pasal.
"Yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana dan 1.251 pembuatan yang diancam pidana. Dari 1.251 pidana (denda 882 pembuatan) hukuman mati (37 perbuatan)," bebernya.
"Selain itu, sekaligus mengindikasikan penggunaan pidana penjara masih merupakan pilihan utama," imbuhnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Aditya Mulawarman |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi