SUARA INDONESIA, JEMBER- Problem keterlibatan anak di sektor pertanian tembakau di Kabupaten Jember, masih menjadi pekerjaan rumah. Pemerintah daerah perlu bergerak cepat menuntaskan masalah itu dengan melibatkan multipihak. Mulai dari kelompok masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi hingga media.
Koordinator Daerah Stapa Jember, Eri Andriani mengungkapkan, berdasarkan temuan lembaganya di sejumlah kecamatan di Kabupaten Jember, masih banyak anak yang terlibat di pertanian tembakau. Kebanyakan, mereka bermain sembari membantu orang tua yang tengah bekerja. Mulai dari lahan hingga proses pasca-panen di gudang.
“Temuan kami, bukan sebagai pekerja anak. Tapi terlibat di sektor pertanian tembakau. Artinya, banyak atau sedikit, lama atau sebentar keterlibatan mereka, anak-anak tetap berisiko,” ungkapnya.
Menurut Eri, faktor risiko anak yang terlibat di pertanian tembakau paling banyak adalah GTS atau Green Tobacco Sickness. GTS adalah gangguan kesehatan yang disebabkan keracunan nikotin pada saat memanen dan mengolah daun tembakau.
“Seperti gatal-gatal. Namun karena sudah terbiasa, mereka menjadi tidak menyadari bahwa penyakit itu juga mengganggu (kesehatan) yang lain,” terangnya.
Pernyataan ini disampaikan Eri di sela-sela acara “Gebyar Semarak Literasi Menuju Indonesia Terbebas dari Pekerja Anak (Gesit 2024)” dalam rangka peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak dan Peringatan Hari Anak 2024. Agenda itu berlangsung di Dira Park Ambulu, Minggu (14/7/2024).
Sejauh ini, Eri menambahkan, Stapa telah melakukan pendampingan anak guna mencegah mereka terlibat di pertanian tembakau. Ada sejumlah desa di beberapa kecamatan wilayah Jember utara yang menjadi sasaran pendampingan.
“Ada yang kami sebut after school program dan off farm. Kami mengajak anak memanfaatkan waktu luang di luar jam sekolah untuk beraktivitas bersama. Seperti permainan tradisional, mengasah kreativitas dengan mewarna dan masih banyak yang lainnya,” ujar Eri.
Di lokasi yang sama, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Jember, Poerwahjoedi mengakui, mengurangi keterlibatan anak di pertanian tembakau, bukan perkara gampang. Harus dilakukan bersama-sama. Tak bisa sendiri-sendiri.
Kata dia, harus ada kerja kolaboratif yang melibatkan kelompok masyarakat, swasta, perguruan tinggi dan media atau pentahelix. Seperti pada kegiatan Gesit 2024 hari ini. Perusahaan swasta membiayai kelompok masyarakat untuk kampanye mencegah keterlibatan anak di pertanian tembakau.
“Dan yang harus dilakukan berikutnya adalah memberi penyadaran kepada orang tua. Karena keluarga berkewajiban untuk melindungi hak-hak anak. Salah satunya adalah hak mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang,” sebutnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Jember Suprihandoko menyebut, sejauh ini tidak ada pekerja anak. Yang ada hanyalah anak yang belajar bekerja dengan membantu orang tua mereka.
Menurut dia, harus ada pemisahan yang jelas antara pekerja anak dan anak yang bekerja membantu orang tua. Karena pengertiannya tidak sama. Pekerja anak adalah anak yang bekerja di suatu usaha atau tempat tertentu dengan perjanjian dan mendapat upah. Sementara anak yang membantu orang tua, umumnya tanpa paksaan dan imbalan.
“Kalau dari perusahaan resmi yang lapor ke kami, tidak ada satupun yang mempekerjakan anak. Karena ancamannya adalah pidana. Dan mereka (pengusaha) juga tahu,” jelasnya. (ADV)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Tamara F |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi