SITUBONDO - Jika dalam judul kata pengembalian, penulis beri tanda kutip, sebenarnya itu hanya untuk menerangkan keraguan penulis terkait dengan pembahasan pengembalian program dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN yang beberapa waktu lalu dikembalikan oleh pihak terkait setelah menuai masalah di Kejaksaan Negeri (Kejari) Situbondo.
Kemudian, Benarkah dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sudah dikembalikan ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)?
Bukan tanpa alasan jika penulis masih ragu. Pertama, diduga belum ada bukti tertulis jika dana PEN memang benar benar dikembalikan.
Publik mungkin bisa saja dianggap tak perlu tahu. Namun sekelas DPRD, khususnya panitia anggaran, diduga juga belum ada satupun yang mengaku memiliki bukti pengembalian dana PEN itu.
Kedua, ada anggaran pembayaran bunga dana PEN di P-APBD 2022 sebesar Rp 3,5 miliar yang bakal disahkan minggu depan.
Bahkan konon diduga juga ada anggaran Rp 4,5 miliar di P-APBD 2022 untuk dana PEN yang terlanjur digunakan untuk perencanaan.
Jika itu benar, mungkinkah ada yang menalangi pembayaran terlebih dahulu dana tersebut ?
Pembahasan soal dana PEN sejak awal memang menarik. Puncaknya setelah beberapa pejabat di lingkungan Pemkab Situbondo ditahan dan ditetapkan jadi tersangka beserta konsultan sebagai tersangka dalam perkara pembuatan UKL-UPL.
Bagi Kejaksaan Negeri Situbondo, kasus dugaan korupsi di DLH adalah satu hal. Sedangkan masalah dana PEN adalah hal yang lain. Itulah sebabnya beberapa pernyataan pejabat Kejari Situbondo di media, selalu mengatakan kasus dugaan korupsi di DLH tidak ada hubungannya dengan dana PEN.
Bahkan juga diduga ada sejumlah orang 'misterius' sampai meminta ke beberapa redaksi untuk men-'takedown' berita yang menghubungkan perkara DLH yang ditangani kejaksaan itu ada hubungannya dengan Dana PEN.
Pertanyaannya, mengapa kejaksaan terkesan enggan untuk masuk ke dana PEN, padahal potensi dugaan korupsinya jauh lebih besar, bahkan bisa jadi jauh lebih luas?
Gonjang-ganjing dana PEN dimulai dari surat Bupati Situbondo kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Dalam surat tertanggal 6 Juli 2021 tersebut, Perihalnya tentang Permohonan Pinjaman Daerah Dalam Rangka Mendukung Program PEN.
Pinjaman yang diajukan diduga sebesar kurang lebih Rp 250 miliar, tenor 5 tahun dengan masa tenggang 1 tahun dan bunga 5,66%. Artinya, jika bupati tidak menjabat lagi di periode kedua, daerah tetap harus membayar pokok dan bunga pinjaman. Tapi persoalannya bukan itu.
Menurut penulis, karena itu pinjaman daerah, mestinya tunduk pada PP No.30 tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Dalam pasal 18 ayat 4 huruf e PP tersebut, disyaratkan keharusan persetujuan DPRD.
Artinya persetujuan itu harus diparipurnakan dan dilampirkan dalam pengajuan pinjaman daerah.
Pertanyaannya, apakah surat usulan eksekutif tentang paripurna pinjaman daerah itu ada. Apakah dokumen paripurna berupa absensi yang hadir ada ?
Apakah Perda tentang Pinjaman Daerah yang ditandatangani Bupati dan DPRD sebagai syarat pengajuan Dana PEN ada? Itu potensi awalnya ?.
Kemudian ketika gonjang-ganjing perkara di DLH, keadaan semakin runyam.
Meski Kejaksaan Negeri Situbondo selalu mengatakan perkara yang ditangani tidak ada hubungannya dengan Dana PEN (karena anggaran UKL-UPL DLH dari APBD), tapi siapa yang bisa menyangkal pembuatan UKL-UPL di DLH untuk persyaratan pekerjaan Dana PEN ?
Efek perkara di DLH, diduga kegiatan tak bisa dikerjakan. Kemudian timbul wacana agar Dana PEN dikembalikan. Persoalan muncul karena sudah ada dana PEN sebesar Rp 62 Miliar dicairkan.
Lebih celaka lagi, diduga ada dana sebesar Rp 4,5 miliar yang kabarnya terlanjur digunakan untuk perencanaan.
Melihat KUA-PPAS yang sudah disahkan dan minggu depan P-APBD akan di-dok, ada sesuatu yang layak dicermati. Pertama, bunga dana PEN yang harus dibayar sebesar Rp 3,5 miliar.
Tak terlalu masalah karena itu kewajiban. Begitu juga kewajiban membayar provisi. Tapi kalau benar ada angka senilai Rp 4,5 miliar untuk mengganti anggaran perencanaan yang terlanjur digunakan, DPRD Situbondo, sudah seharusnya mempertanyakan.
Jika itu banar mengapa harus daerah yang membayar? Mengapa tidak yang menikmati dana itu yang mengembalikan? Siapa saja yang menikmati dana itu? Mengapa perencanaan bukan di Bappekab melainkan di PUPR?
Itu kalau DPRD tidak tersandera kepentingan Jasmas misalnya ?. Itu kalau Kejari Situbondo memang tidak menutup mata. Tapi kalau yang terakhir masalahnya, bisa dibantu dilaporkan ke tingkat atasnya, bahkan mungkin KPK. Terkadang, ada beban psikologis yang harus ditanggung kalau sering bertemu.
Potensi tindak pidana lainnya dalam perkara Dana PEN ? Gratifikasi ?
Diduga daerah lain misalnya, untuk mendapatkan pekerjaan proyek harus melakukan 'ijon'. Artinya membayar dulu di depan sekian persen. Biasanya sekitar 15% sampai 20%. Tapi untuk yang satu ini kecil kemungkinan, Bupati Situbondo itu agamis tidak seperti daerah lain.
Tidak akan mau pada yang berbau haram. Kecuali barangkali nanti ada yang bernyanyi karena sudah bayar tapi tak dapat porsi misalnya ?. Atau karena dulu berjuang tapi kini diabaikan ? Segalanya masih mungkin terjadi ?.
Penulis artikel ini Edi Santoso, SH, sebagai pengamat hukum, mengenai penayangan artikel ini sepenuhnya tanggung jawab penulis***
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Syamsuri |
Editor | : Bahrullah |
Komentar & Reaksi