JAKARTA - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan jumlah kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal meningkat dalam beberapa hari terakhir.
Sampai Jumat (21/10/2022) sudah mengidentifikasi ada 241 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak di 22 provinsi.
"Dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus," kata Budi Gunadi dalam konferensi pers di Jakarta.
Berdasarkan data dari (Kemenkes, wilayah DKI Jakarta masih menjadi penyumbang kasus gangguan ginjal akut terbanyak dengan 57 kasus.
Daerah lain yang juga menjadi penyumbang besar adalah Jawa Barat dengan 33 kasus, Aceh 31 kasus, dan Jawa Timur 30 kasus.
Tren peningkatan kasus gangguan ginjal akut mulai terjadi pada Agustus 2022 dengan 36 kasus. Pada September 2022 melonjak naik dengan ditemukannya 78 kasus, sementara pada Oktober ditemukan 110 kasus.
Angka kematian akibat gangguan ginjal akut paling banyak juga ditemukan di DKI Jakarta dengan 28 orang meninggal dunia, diikuti Aceh 21 orang, Jawa Barat 17 orang, dan Jawa Timur 14 orang.
"Ini terjadi peningkatan mulai Agustus 2022. Meninggal karena gangguan ginjal akut memang selalu terjadi cuma jumlahnya kecil tidak pernah tinggi," ungkap Budi.
Budi menjelaskan, kasus gangguan ginjal akut paling banyak menyerang balita di bawah usia lima tahun.
Mereka mengalami beberapa gejala klinis, termasuk demam, mual, kehilangan nafsu makan, muntah, malaise (lesu), dan gangguan pernapasan.
"Kemudian, spesifik dengan ginjal mereka itu buang air kecil sedikit, yang masuk ke rumah sakit itu cepat sekali kondisinya memburuk. Terus sudah lima hari (kondisinya) turun secara drastis sehingga 55 persen (dari jumlah kasus) meninggal dunia," jelasnya.
Meningkatnya kasus gangguan ginjal akut dan angka kematian yang terus bertambah. Kemenkes pun melakukan uji toksikologi terhadap anak-anak penderita gangguan ginjal akut yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Pada tubuh tujuh dari 11 anak penderita gangguan ginjal akut yang dirawat RSCM, Kemenkes menemukan kandungan senyawa atau zat kimia berbahaya yaitu etilen glikol, dietilen glikol, dan etilen glikol butyl ether.
"Itu ada di mereka jadi confirmed 60 persen. Bahwa (penyakit) ini disebabkan oleh senyawa kimia tersebut," ungkap Budi.
Menurut Budi apabila zat kimia berbahaya seperti etilen glikol, dietilen glikol, dan etilen glikol butyl ether terdapat dalam tubuh, pada saat tubuh melakukan metabolisme, senyawa berbahaya itu akan berubah menjadi asam oksalat. Pada saat asam oksalat masuk ke dalam ginjal, asam itu berubah menjadi kalsium oksalat yang berbahaya.
"Kalsium oksalat itu seperti kristal-kristal kecil yang tajam. Sehingga kalau ada kristal-kristal kecil di ginjal para balita. Ya rusak ginjal," ucapnya.(VOA)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Tamara Festiyanti |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi