SUARA INDONESIA

Bertaruh Nyawa di Tepi Marga padahal Ada Pondok Bersalin dan Ambulans Desa, Kok Bisa?

Magang - 21 December 2023 | 06:12 - Dibaca 3.11k kali
Kesehatan Bertaruh Nyawa di Tepi Marga padahal Ada Pondok Bersalin dan Ambulans Desa, Kok Bisa?
Kondisi pondok bersalin di Desa Jambesari, Kecamatan Sumberbaru, Jember, Jawa Timur, tampak tak terawat. Padahal bangunan itu tergolong baru. (Foto: Istimewa)

SUARA INDONESIA, JEMBER- Menjelang Hari Ibu, harusnya Holifa bergembira menyambut kehadiran buah perkawinannya. Namun, kenyataan berkata lain. Rabu dini hari, perempuan yang tinggal di Dusun Krajan, Desa Jambesari, Kecamatan Sumberbaru, Jember, Jawa Timur ini, justru bertaruh nyawa. Ia melahirkan bayi perempuan di tepi marga.

“Alhamdulillah, saya dan anak saya selamat. Semuanya juga sehat,” ucapnya, saat ditemui di rumahnya, Rabu siang 20 Desember 2023. Perempuan 35 tahun ini tak banyak berkata. Dia masih butuh istirahat selepas melahirkan anak keenam. Hasil pernikahan dengan Nurul Yakin, suaminya. Ia hanya bercerita sekilas tentang perjalanan kehamilan, sebelum ia melahirkan di tepi jalan saat menuju ke Puskesmas Sumberbaru.

Kasus Holifa yang melahirkan di tepi jalan, tak jauh dari Kantor Desa Kaliglagah, menyita perhatian publik Jember. Terlebih, muncul narasi menyudutkan dari pejabat kesehatan setempat, yang menyebut perempuan ini menyembunyikan kehamilannya. Ogah memeriksakan diri, serta tak mau menggunakan kontrasepsi.

Jika ditelisik lebih dalam, problem yang dihadapi Holifa dan keluarga sebenarnya cukup kompleks. Mulai kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, hingga informasi dan sistem layanan kesehatan di desa yang tak terakses dengan baik. Padahal, ada pondok bersalin di kampungnya yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah Holifa. Hanya saja, pondok bersalin itu tak berguna.

Pondok bersalin itu berdiri di samping kantor desa. Hanya saja, fasilitas kesehatan tersebut terkesan mangkrak. Banyak rumput liar tumbuh di halaman. Teras depan penuh debu. Seperti jarang terpakai. Padahal, pustu yang juga berfungsi sebagai pondok bersalin tersebut bangunannya tergolong masih baru.

Jika saja layanan pondok bersalin itu bisa diakses oleh warga, Holifa dan suaminya, Nurul Yakin, tak perlu pergi ke puskesmas yang berjarak 15 kilometer dari rumahnya, pagi-pagi buta. Dan kejadian ibu melahirkan di pinggir jalan, juga bakal tiada.

Belum lagi ribetnya perizinan penggunaan ambulans desa. Padahal, ambulans desa di Jambesari, dan beberapa desa lain kawasan kaki Gunung Argopuro, spesifikasinya telah disesuaikan. Menggunakan penggerak empat roda, depan dan belakang, yang cocok untuk permukiman di dataran tinggi.

“Anak saya ada enam. Anak pertama hingga keempat, saya rutin ke posyandu. Tapi anak kelima dan keenam ini, sudah tidak lagi,” ungkapnya. Holifa tak merinci apa alasan enggan datang ke posyandu atau fasilitas kesehatan lainnya. Namun, ketika ditanya apakah memiliki trauma terhadap pelayanan dan tenaga kesehatan, ia tak menampiknya.

Holilfa menikah di usia muda dengan suaminya, Nurul Yakin, pada awal tahun 2000-an lalu. Setahun kemudian, perempuan kelahiran 1988 ini memiliki anak pertama. Pasangan yang sama-sama lahir dari keluarga tak mampu tersebut kembali memiliki anak tak sampai tiga tahun berikutnya. Kini, selama terikat pernikahan, keduanya telah memiliki enam orang anak.

Anak pertama lulus SMP dan sekarang bekerja di Surabaya. Anak kedua, hanya tamat SD dan merantau di Pulau Dewata. Sedangkan anak ketiga masih SD kelas empat. Anak keempat berumur tak sampai lima tahun, sedangkan anak kelima belum genap dua tahun. Anak keenam lahir di pinggir jalan.

“Saya bekerja serabutan. Kadang jadi buruh tani, kadang buruh bangunan. Saya juga sering merantau ke luar pulau. Biasanya ke Bali,” tutur Nurul Yakin. Dia mengaku, keluarganya tercatat sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah pusat. “Alhamdulillah, bisa membantu kebutuhan rumah tangga,” sambungnya.

Apa yang dialami Holifa dan sang suami, menjadi gambaran bahwa pemerintah masih setengah hati melindungi hak-hak dasar warganya. Baik bidang pendidikan maupun kesehatan. Mereka mengalami kerentanan ganda.

Pada kasus Holifa ini, misalnya, hanya ada kunjungan dari petugas puskesmas. Empat orang tiba dan menanyakan kondisi sang ibu pascapersalinan. Sedangkan pemerintah daerah dan kecamatan, hingga Rabu siang, tidak ada yang datang. Padahal di hari yang sama, ada kegiatan pemerintah kecamatan di Kantor Desa Jatiroto, berjarak sekitar delapan kilometer dari rumah Holifa.

Melalui sambungan telepon, Camat Sumberbaru Herman Akhmad AW mengklaim telah menyelesaikan masalah ibu melahirkan di pinggir jalan. Namun, ia tak membeberkan penyelesaian seperti apa yang telah dilakukan. Bahkan, dia menyebut agar peristiwa ini tak usah dibesar-besarkan. “Sudah selesai. Tidak ada masalah,” jawabnya.

Hal berbeda disampaikan Kepala Desa Jambesari Marsuto. Dia mengakui ada perubahan kualitas layanan kesehatan di desa, setelah pergantian bupati. Utamanya untuk pelayanan pustu yang sekaligus pondok bersalin dan ambulans desa.

Karena di era sebelumnya, bidan desa tinggal di rumah dinas yang menjadi satu kompleks dengan pondok bersalin. Jika sewaktu-waktu ada warga yang melahirkan, petugas medis yang siaga. Kini, kondisinya telah berubah.

Kebijakan penggunaan ambulans desa juga sama. Di era sebelumnya, kepala desa memiliki wewenang mengomando sopir ambulans. Ketika ada warga yang sakit, terlebih kondisi darurat, kepala desa dapat memerintahnya. Namun kini, kondisinya tak lagi sama. Penggunaan ambulans desa harus seizin kepala puskesmas.

“Saya sebenarnya sempat menyampaikan hal ini. Kalau memang penggunaan harus mendapat izin kepala puskesmas, harusnya jangan dikasih nama ambulans desa, tapi ambulans puskesmas,” sindirnya.

Selama ini, Marsuto berkata, keberadaan ambulans desa tidak lagi menempati kantor desa. Melainkan di rumah sopir ambulans yang juga warga setempat. Ketika kondisi darurat, dia mengaku enggan mengakses ambulans karena prosedur perizinan yang dinilai birokratis. Dia memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk mengantar warga ke rumah sakit.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinkes Jember dr Hendro Soelistijono menepis tudingan itu. Menurutnya, pada kondisi darurat, ambulans desa bisa digunakan tanpa izin kepala puskesmas. Kebijakan perizinan ini, kata dia, demi menghindari penyalahgunaan armada. Karena biaya operasional yang digunakan diambilkan dari APBD.

“Kalau hanya sakit gatal-gatal, masak menggunakan ambulans desa. Jadi perizinan tersebut untuk menghindari hal-hal yang demikian,” elaknya.

Mantan Direktur RSD dr Soebandi ini juga mengaku, pihaknya telah menyosialisasikan itu kepada para sopir ambulans desa, termasuk kepada jajaran pemerintah yang ada di tingkat kecamatan dan desa.

Menurutnya, ketika kondisinya memang darurat, maka sopir ambulans dapat mengantarkan pasien tanpa persetujuan kepala puskesmas. “Tapi, pasien tersebut harus dibawa ke puskesmas, tidak boleh ke klinik swasta,” paparnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Magang
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya

Featured SIN TV