SUARA INDONESIA, SURABAYA - Dosen Mata Kuliah Studi Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Mohammad Kurjum menjelaskan, momentum peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 25 November, terdapat andil sosok guru dalam mendidik moral anak dalam menghadapi perubahan era zaman digital yang melaju pesat.
"Perbedaan yang sangat besar dan jelas antara proses pembelajaran di masa lalu dan saat ini yang pemanfaatannya sudah mengikuti digital teknologi terus mengalami perubahan," ujarnya, Senin (25/11/2024).
Menurut dia, keberadaan arus informasi sebelum internet berkembang pesat, dahulu seseorang harus mencari referensi secara manual. Harus datang ke perpustakaan dan melacak informasi dari berbagai sumber.
Proses ini, kata dia, ternyata melatih daya pikir kita dan mengurangi kegiatan-kegiatan negatif lainnya. "Ketika pergi ke perpustakaan, kita mengurangi waktu untuk aktivitas lain dan fokus untuk mencari referensi serta belajar di sana," ulasnya.
Namun, berbeda dengan sekarang, menurut Kurjum, tantangan yang dihadapi dalam mengajarkan nilai-nilai moral, serta solusi yang diterapkan, seperti integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran daring dan tatap muka.
Anak-anak zaman sekarang dimanjakan dengan teknologi digital. Semua serba digital. Mereka dapat mencari referensi melalui Google atau bahkan membuat paper dengan bantuan kecerdasan buatan (AI).
Lantas, apa peran guru di tengah perubahan ini? Kurjum menjelaskan, meski teknologi berkembang pesat, peran guru tetap sangat penting, terutama ketika anak-anak terjebak dalam permainan gadget.
"Jika guru tidak mendampingi, mereka akan mencari informasi sendiri tanpa bimbingan. Pendampingan guru sangat diperlukan untuk menjaga fokus dan arah pembelajaran siswa," cetusnya.
Selain itu, kata Kurjum, adanya upaya persuasif antara perubahan dalam pola mendidik dan pembelajaran perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan belajar yang lebih memperhatikan kebutuhan siswa.
Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana nilai-nilai akhlak tetap diajarkan dalam pendidikan, pesannya. Termasuk pembentukan akhlak yang terpuji, seperti rendah hati, tawadhu, sabar, dan introspeksi diri, harus tetap ditanamkan.
Tanpa nilai-nilai ini, yang muncul justru arogansi dan perilaku negatif pada siswa, seperti saling pamer kepemilikan gadget.
Kedua, kritiknya pada praktik bullying dan kekerasan di sekolah juga tidak bisa diabaikan. Tanpa penanaman akhlak yang baik, tindakan kasar antar siswa, seperti mengolok-olok teman, bisa terus terjadi.
Peran penting sebagai pembimbing, seperti guru dan orang tua perlu memberikan contoh yang baik dan mengarahkan siswa agar menumbuhkan sikap saling menghormati dan berempati. "Jika akhlak baik sudah tertanam, dampaknya akan terasa pada hasil pembelajaran dan perilaku siswa," paparnya.
Dicontohkannya, baru belakangan terjadi seperti kasus kekerasan di sekolah, termasuk persekusi terhadap siswa oleh orang tua, menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua.
Untuk itu, sambungnya peran adanya ikatan orang tua siswa dan sekolah harus diperkuat. Dengan saling mengenal dan berempati, orang tua dapat memahami latar belakang ekonomi siswa yang beragam, sehingga bisa lebih peduli dan mendukung perkembangan siswa secara emosional.
"Melalui hubungan yang baik ini, diharapkan tidak ada lagi tindakan yang berlebihan atau kesalahpahaman yang dapat merugikan siswa,” jelasnya.
“Beberapa sekolah sudah mulai menerapkan hal ini dengan baik dan menunjukkan pentingnya komunikasi positif antara orang tua dan guru untuk membangun jaringan emosi yang saling mendukung," pungkasnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Yulian (Magang) |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi