TRENGGALEK - Sidang permohonan gugatan keberatan ganti rugi lahan pembangunan proyek Nasional Bendungan Bagong tepatnya di Kecamatan Bendungan kembali digelar di Pengadilan Negeri Trenggalek, Senin (28/9/2020).
Agenda sidang kali ini menghadirkan saksi dari pihak pemohon yakni masyarakat Desa Sengon dan Sumurup. Saksi tersebut dihadirkan untuk menyampaikan fakta tentang besaran nilai harga lahan di wilayah tersebut.
"Dalil alasan keberatan terkait proses ganti rugi dengan menghadirkan saksi dan bukti telah disampaikan," ungkap Haris Yudianto selaku kuasa hukum warga terdampak proyek Bendungan Bagong.
Usai persidangan Haris mengatakan, dalam beberapa persidangan yang lalu juga telah dihadiri saksi dan bukti surat yang diajukan. Bahkan semua sudah sangat jelas bahwa warga yang mengajukan keberatan memiliki alasan yang kuat.
Tidak hanya itu, Haris juga menyampaikan bahwa dalam prosesnya surat pengumuman yang disampaikan kepada masyarakat oleh pihak Appraisal hanya berbentuk lembaran tanpa tanggal bahkan tanpa ada siapa yang bertanggungjawab termasuk kop surat juga tidak ada.
"Dalam permasalahan ini masyarakat bingung akan menuntut kepada siapa, karena ini pertama kali dalam sejarah ditemukan surat yang dibuat oleh pejabat tanpa Kop, tanggal dan siapa yang bertanggungjawab," ujarnya.
Menurut Haris, mestinya ini bisa menjadi kajian oleh majelis hakim. Karena yang terjadi ada rumah dan ada keluarga yang menghuni, namun tidak dilibatkan dalam hal ini.
Jadi, nominal yang diberikan tidak jelas, memang sempat rincian itu pernah diperlihatkan oleh panitia. Namun tidak boleh diminta bahkan di foto. Jadi ini sudah tidak terbuka, maka harus dievaluasi.
"Tentang perubahan Appraisal juga begitu, katanya tidak bisa dirubah. Namun dalam kegagalan pengumuman pertama kali bisa dirubah," ungkapnya.
Haris menyampaikan, kata panitia untuk penilaian tanah panitia hanya menentukan identifikasi untuk selanjutnya diserahkan ke KJPP atau Appraisal. KJPP ini yang kemudian mengolah nilai.
Namun sempat terjadi, pengumuman yang pernah gagal yakni dengan melahirkan pengumuman yang pertama dan ditolak warga tanggal (21/7). Kenyataannya tanggal (19/8) ternyata bisa dirubah dan memasukkan tegak'an dan tanaman yang diajukan masyarakat.
"Katanya panitia tidak memiliki wewenang untuk merubah, namun kenapa dengan adanya tekanan warga bisa berubah juga," ucapnya.
Bahkan kata panitia keputusan penilaian tanah merupakan ketentuan KJPP atau Appraisal. Jadi panitia tidak memiliki kewenangan merubah.
Masih menurut Haris, jika mengacu dalam aturan, proses ganti rugi lahan ini merugikan masyarakat. Karena seharusnya dalam musyawarah ada bentuk musyawarah membicarakan kerugian. Namun yang terjadi musyawarah ini searah bukan dua arah.
"Dalam proses musyawarahnya, jika masyarakat meminta ganti rugi uang, langsung disodori ini lho nilainya. Jadi langsung, mau atau tidak itu nilainya," tambahnya.
Diimbuhkan Haris, intinya masyarakat meminta nilai harga sesuai penjualan lahan yang terjadi dalam waktu dekat. Karena yang terjadi harga pasaran masyarakat lebih tinggi.
Ada harga Rp 317 ribu hingga Rp 500 ribu per meter, jadi harga appraisal yang diumumkan Rp 175 ribu per meter itu jika untuk di belikan lahan lagi jelas tidak memungkinkan.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Imam Hairon |
Editor | : |
Komentar & Reaksi