BANYUWANGI- Guna mendorong kesadaran kesetaraan gender sejak dini, Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Banyuwangi menargetkan kegiatan kesiswaan di awal ajaran baru pada Juli mendatang sudah berbasis responsif gender.
Hal ini dikatakan Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi Suratno, saat dikonfirmasi Kamis (20/5/2021).
Menurutnya, selama ini praktik pendidikan cenderung bias gender yang berdampak jangka panjang. Seperti perlakuan diskriminatif antara laki dan perempuan, ketidakmandirian kaum perempuan, dan lainnya.
"Untuk itu, pendidikan responsif gender harus dilakukan secara sistematis dan masif. Nantinya baik melalui sosialisasi pada warga sekolah dan stakeholder pendidikan," katanya.
Suratni memaparkan, pendidikan responsif gender diperlukan untuk memastikan proses kesetaraan gender dapay berlangsung secara benar. Pihaknya menargetkan mulai jenjang TK hingga SMP wajib menerapkannya.
"Jadi semua jenjang TK, SD, dan SMP wajib responsif gender. Karena praktik-praktik pendidikan, termasuk pola komunikasi dan integrasi guru dan siswa terjadi di semua jenjang. Maka sejak dini harus berada pada komunikasi kesetaraan gender," ungkapnya.
Dalam memacu pembelajaran responsif gender, Dispendik akan melakukan percepatan sosialisasi kepada semua stakeholder dan monitoring praktik-praktik pendidikan yg berlangsung di masing-masing satuan pendidikan.
"Sosialisasi secara bertahap sudahh kita mulai dan sampai akhir tahun pelajaran ini. Kita harapkan kegiatan-kegiatan kesiswaan di awal tahun ajaran depan, mulai dr PLS (pengenalan lingkungan sekolah), upacara, dan lainnya sudah berbasis responsif gender," tandasnya.
Langkah tersebut guna mendukung program Bupati Banyuwangi dimana Pemkab bakal memasifkan penerapan pembelajaran responsif gender untuk membangun kesadaran kesetaraan gender sejak dini.
Sebelumnya, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengatakan, pembelajaran responsif gender penting diterapkan untuk membangun paradigma kesetaraan gender di kalangan generasi muda. Selama itu, pandangan yang bias gender masih sangat mengemuka di masyarakat, yang sebagian besar merugikan kaum perempuan.
”Contoh kecilnya, misalnya siswi SMP atau SMA dibully, anak perempuan kok enggak bisa masak, ini pandangan bias gender yang menempatkan perempuan hanya di ranah domestik,” ujarnya.
Contoh lainnya, sambung Ipuk, di sekolah kerap ditemui ungkapan “sudah jangan nangis, anak laki-laki tidak boleh cengeng” atau “jadi anak perempuan yang lembut, jangan teriak-teriak”.
“Tanpa sadar, ketika bikin kelompok, nama kelompok pelajar perempuan selalu nama bunga, sedang laki-laki nama hewan misalnya. Ini paradigma bias gender yang tertanam lama,” beber Ipuk.
Untuk itu, Ipuk meminta para kepala sekolah harus menjadikan sekolahnya responsif gender, mengakomodasi kepentingan pelajar laki laki dan perempuan secara seimbang dari aspek akses, partisipasi, dan manfaat.
"Kepala sekolah bertanggung jawab mendorong ini kepada guru, yang nantinya menjalar ke murid-murid,” imbuh bupati yang baru dilantik pada 26 Februari ini. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Nanang Habibi |
Komentar & Reaksi