JOMBANG – Sidang praperadilan MSA kali ini tak hanya saksi ahli hukum tata negara yang menilai penetapan status tersangka MSA terkategori cacat prosedur.
Saksi ahli hukum pidana dalam persidangan praperadilan di pengadilan negeri Jombang, juga berpendapat untuk penetapan tersangka MSA itu cacat hukum, Rabu (26/01/2022).
Suparji ,saksi ahli hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Jakarta dihadirkan untuk memberikan keterangan sebagai ahli hukum pidana dalam sidang hari ke empat gugatan praperadilan nomer register 1/Pid.Pra/2022/PN Jbg yang dilayangkan MSA di Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Selasa (25/01/2022) kemarin.
Ditemui seusai sidang ,Suparji menilai, prosedur sebagaimana putusan MK 21/PUU-XII/2014 tidak dipenuhi, yakni tersangka tidak pernah diperiksa sebelumnya, dan alat buktinya juga tidak mendukung.
Sebab itu, penetapan tersangka dalam perkara dugaan pelecehan seksual yang mendera MSA ini, tidak sah secara hukum, terangnya.
"Karena tidak sesuai prosedur, ini adalah cacat hukum. Antara lain KUHAP, terutama putusan MK 21/PUU-XII/2014 yang mengatur penetapan tersangka itu, minimal dua alat bukti dan disertai atau diawali dengan pemeriksaan terlapor atau calon tersangka," tambahnya.
Suparji mengatakan, penyidik memang memiliki kewenangan dalam hal ini. Namun, kata dia, penyidik juga tidak boleh bertindak sewenang-wenang.
Penyidik, harusnya berpijak pada standar yang jelas sesuai aturan yang berlaku.Kewenangannya dilakukan, tapi tidak sesuai prosedur. Maka potensi (abuse of power) muncul di situ," tandas Suparji.
Pihaknya juga mengatakan, berkas perkara kasus dugaan pelecehan seksual yang di lakukan MSA ini sudah mengalami P19 sebanyak 3 kali, semestinya perkara ini tidak dilanjutkan atau dihentikan.
Hanya saja, pasca praperadilan di PN Surabaya beberapa waktu lalu yang memutuskan tidak diterimanya gugatan tersebut dikarenakan kurang pihak ,kemudian berkas perkara ini dinyatakan P21 atau lengkap oleh kejaksaan tinggi Jawa timur pada 04 Januari 2022.
"P-19 sebanyak 3 kali ini, seharusnya perkara ini dihentikan. Kemudian perkara ini tetap dilanjutkan, mungkin penyidik mempunyai pandangan atau bisa juga ada faktor lain.
Mungkin seolah-olah bahwa ini tidak kooperatif dan sebagainya, sehingga dilakukan P21. Sepertinya proses hukum ini berjalan terus, sementara ruang-ruang kontrol ini tidak dipedulikan atau diabaikan," papar Suparji.
Suparji juga menyatakan, perkara ini terkesan dipaksakan. Mengingat, lanjut dia, tiga surat yakni Surat Perintah Penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan Surat Ketetapan Tersangka pada MSA itu, dikeluarkan pada hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama.
"Kan nggak mungkin, dalam satu hari, keluar tiga surat. Sementara terlapor atau calon tersangka belum pernah diperiksa, sehingga ada kecenderungan perkara ini harus lanjut atau dengan kata lain dipaksakan," ulasnya.
Disinggung bila Hakim tunggal dalam praperadilan kali ini memutuskan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) atau tidak dapat diterima lagi.
Suparji berpendapat, putusan NO dalam gugatan praperadilan kali ini, tidak cukup alasan dan menjadi catatan tidak baik. Karena secara formil sudah memenuhi untuk praperadilannya, kata Suparji.
"Suparji percaya dalam gugatan praperadilan ini hakim akan bersifat progresif melihat fakta sebenarnya. Sehingga akan memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan MSA ini.
Jadi hakim tidak cukup alasan untuk memutus NO. Kalau yang kemarin di-NO itu kan karena kurang pihak, sekarang ini kan pihaknya sudah terpenuhi," pungkasnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Gono Dwi Santoso |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi