SUARA INDONESIA

Meredefinisi Budaya Birokrasi di Era New Normal

Mohammad Sodiq - 23 December 2020 | 12:12 - Dibaca 3.16k kali
Politik Meredefinisi Budaya Birokrasi di Era New Normal
Gandung Rafiul Nurul Huda | Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya dan Ketua Harian DPP KNPI)

Secara teoritis dan praktis, birokrasi sulit diajak berubah. Di dalam birokrasi, kebijakan publik dan institusi formal biasanya dirancang untuk sulit berubah, dan keputusan masa lalu biasanya mendorong kelangsungan kebijakan. Birokrasi juga memiliki sedikit mekanisme untuk bereaksi dan beradaptasi pada perubahan, Hal ini tidak terlepas bahwa birokrasi bekerja dengan berdasarkan pada tata kelola tradisional yang berpusat pada stabilitas, akuntabilitas, dan pada aturan yang dibuat untuk merespons kebutuhan panjang.

Selain itu, menurut Janssen dan Van der Voort (2016), birokrasi juga merupakan institusi yang di dalamnya banyak aktor dengan berbagai kepentingan. Perubahan tentu lebih mudah terjadi ketika berbagai kelompok kepentingan menerima gagasan perubahan dan menganggap perubahan tersebut tidak mengganggu kepentingannya.

Kecenderungan birokrasi untuk sulit berubah dihadapkan pada dinamisnya perubahan lingkungan. Adanya pandemi menjadi trigger dari kondisi yang sebenarnya tidak diharapkan. Selama masa pandemi, ketidakpastian, kecemasan, ancaman sosial, dan besarnya potensi suatu negara atau daerah mengalami resesi dan kerugian secara ekonomi semakin besar. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk merespons krisis dan di saat yang bersamaan harus adaptif dalam bekerja selama krisis itu berlangsung.

Respon dari pemerintah seharusnya ditunjukkan dengan tetap berjalan baiknya fungsi pemerintah, tata laksana dalam pelayanan publik dan implementasi kebijakan, serta penggunaan sumber daya selama masa pandemi. Tentu saja, keberhasilan pemerintah untuk merespons dan mengelola negara di saat pandemi ditentukan oleh budaya baru di dalam birokrasi, kepemimpinan pejabat publik untuk memahami situasi, mengambil keputusan yang strategis, dan menjaga akuntabilitas. Faktor penentu lainnya adalah kemampuan organisasi pemerintah untuk beradaptasi, belajar, berkoordinasi, dan berkolaborasi diantara semua unit.

Budaya organisasi merupakan nilai-nilai, prinsip, tradisi, dan cara-cara bekerja yang dianut bersama oleh para anggota organisasi dan mempengaruhi cara mereka bertindak (Robbins, 2010). Budaya organisasi memberikan identitas pada anggotanya untuk berperilaku sesuai prinsip dan nilai organisasi. Apabila prinsip dan nilai organisasi dapat dimaknai dan dipahami anggota organisasi dengan baik dan benar, maka akan terwujud perilaku yang sejalan dengan prinsip nilai organisasi.

Menurut Daft (2010), budaya organisais terdiri dari dimensi lapisan bertingkat yaitu lapisan terlihat visible artifacts) dan lapisan tak terlihat (invicible artifact). Inviceble artifact dalam dimensi budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai yang berperan dalam terbentuknya sikap dan perilaku anggota organisasi. Hal tersebut dikarenakan sistem nilai merupakan wujud dari nilai-nilai pokok suatu organisasi yang mengarahkan anggota organisasi dalam upaya mewujudkan goal, visi, misi, dan tujuannya.

Pengaruh budaya organisasi pada aparatur birokrasi, juga dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan. Seorang pemimpin akan membentuk budaya organisasi yang nantinya akan menentukan keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakan bawahannya dalam mencapai tujuan. Hal ini berarti terjadi komitmen yang saling mendukung antara budaya organisasi dan pimpinan dalam mempengaruhi aparatur birokrasi dalam merespons kondisi lingkungan, khususnya di masa pandemi.  

Merekam Perubahan-perubahan yang Terjadi

Dalam tekanan krisis di masa pandemi, birokrasi di Indonesia juga sudah menampakkan perubahan. Walaupun perubahan yang terjadi tampaknya masih bersifat reaktif. Perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya dalam cara kerja internal lembaga, dan pelayanan publik. Ketika pandemi menjadi lebih serius, pemerintah pusat mulai mengaktifkan protokol manajemen krisis, salah satunya dengan memfasilitasi koordinasi antar kementerian dan lembaga.

Rapat terbatas kabinet di mana Presiden berkoordinasi dengan para menterinya dilakukan secara rutin seminggu sekali. Selain itu, lintas kementerian juga terus melakukan koordinasi untuk memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih kebijakan, keterbukaan informasi, serta ada interaksi dan komunikasi yang periodek lintas sectoral. Misalnya saja, pada bulan April lalu, Kemendagri melalui video conference selama tiga hari berturut-turut (14-16 April 2020) dengan pemerintah daerah, serta kementerian dan lembaga terkait untuk membahas kendala dan tata laksana regulasi penanganan Covid-19.

Kemudian untuk mencegah penyebaran Covid-19, penerapan protokol kesehatan menjadi sebuah keharusan. Hal ini tentu saja mempengaruhi birokrasi, bauk menyangkut bangunan struktur, mekanisme maupun budaya kerja. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (kemenpan-RB) telah melakukan berbagai langkah untuk merespons perkembangan dengan berbagai kebijakan. Sementara itu, setiap instansi pemerintah diminta untuk menerjemahkannya sesuai dengan kondisi yang dihadapi masing-masing.

Ketika Covid-19 sudah menjadi ancaman yang menyangkut nasib orang, work from home (WFH) menjadi pilihan yang paling aman. Perubahan budaya kerja birokrasi, ini cukup revolusioner, mengingat hal ini tidak pernah diberlakukan oleh birokrasi dengan tiba-tiba rapat menggunakan aplikasi Zoom, Google Meet, Webex, dan lain-lain menjadi budaya kerja yang berjalan secara masif. Generasi tua dan muda, baik laki-laki maupun perempuan semua aktif menggunakan laptop atau perangkat lainnya untuk bekerja.

Hal menarik dari budaya kerja baru melalui WFH adalah orang tidak lagi mengenal jam kerja yang hanya dibatasi dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Orang juga tidak lagi menyadari bahwa ada tanggal merah atau hari libur karena kegiatan bisa berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu. Lebih dari itu, kegiatan rapat bisa berjalan dengan simultan, frekuensi yang tinggi, dan jumlah peserta yang masih, dan biaya yang sangat terjangkau. Kegiatan WFH juga menyadarkan bahwa keterbatasan ruang mampu dipecahkan solusinya. Melalui 50% WFH dan 50% work in office pelayanan publik masih mampu berjalan baik karena ditopang sistem online.

Selain itu, dengan kebijakan WFH, sebenarnya pemerintah sudah menerapkan flexible work arrangement (FWA) yang pernah digagas sebelumnya. Covid-19 telah mengajarkan FWA sangat mungkin dilakukan dengan tingkat efektivitas pelayanan yang masih terjadi dengan baik. Dengan adanya Covid-19, pemerintah juga mau tidak mau dituntut untuk berinovasi dan beradaptasi dengan cepat, serta melibatkan peran teknologi untuk menunjang produktivitas, koordinasi, dan kolaborasi lintas sektoral akan menjadi budaya baru bagi birokrasi pemerintahann kedepannya.

Terdapat pertanyaan yang kerapkali dilontarkan oleh banyak pihak tentang bagaimana memastikan bahwa WFH betul-betul efektif untuk memberikan pelayanan publik. Guna memastikan kinerja, WFH memberikan pembelajaran bahwa setiap orang harus memiliki target kinerja yang terukur dengan jelas. Apa target yang harus dicapai tiap hari, tiap minggu atau tiap bulan, merupakan indikator yang digunakan untuk menimai seseorang. Hal ini yang kedepannya akan menjadi rumusan budaya birokrasi baru dalam rangka menilai kinerja aparatur birokrasinya.

Penerapan model WFH yang menggunakan teknologi, membuat pemerintah daerah terdorong untuk melakukan inovasi agar tetap mempertahankan kualitas pelayanan publik. Misalnya Kabupaten Bandung, mengoptimalkan layanan publik online dengan membuat Layanan Perizinan Online (Laperon), termasuk untuk konsultasi informasi tata ruang dan gambar izin mendirikan bangunan.

Inovasi lainnya dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Denpasar yang membuat Lentera Belajar yang merupakan sistem integrase pendidikan Kota Despasar. Integrasi dilakukan mulai dari orang tua, siswa, sekolah, dan Dinas Pendidikan. Dalam aplikasi ini juga terdapat bank soal, materi pembelajaran, dan pelaksanaan ulangan harian online, Ujian Semester Online, dan pelatihan soal online.

Adanya pandemi Covid-19 juga “memaksa” birokrasi untuk melakukan efisiensi dengan mengurangi perjalan dinas pejabat negara dan daerah beserta jajarannya. Bahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta pemerintah daerah untuk memangkas anggaran perjalan dinas minimal sebesar 50%. Hal itu tertuang dalam keputusan bersama Mendagri dan Menkeu Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan Covid-19. 

Perubahan-perubahan yang terjadi di atas, apakah menjadi momentum bagi birokrasi untuk meredefinisi dirinya agar menjadi budaya birokrasi baru yang berlangsung konsisten dan telembagakan atau hanya bersifat sementara? Barangkali, perubahan yang terjadi hanya bersifat sementara apabila budaya birokrasi tidak ditangani serta menjadi prioritas bagi pemerintah.

Pemerintah kedepannya harus jalan terus dengan apa yang sudah dikerjakan, sembari membenahi kekurangan-kekurangan dengan melibatkan berbagai pemangku kebijakan. Komitmen bersama, kerja kolaboratif dengan berbagai instansi, dan penguatan koordinasi lintas sektoral akan menentukan apakah perubahan yang terjadi sekarang ini akan terlembagakan dan menjadi budaya baru bagi birokrasi beserta aparaturnya yang lebih permanen atau tidak. 

(Penulis: Gandung Rafiul Nurul Huda | Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya dan Ketua Harian DPP KNPI)

Referensi:

Daft, R. L. (2010). Management, 9th Edition. Ohio: Cancage Learning.

Janssen, M., & Van Der Voort, H. (2016). Adaptive Governance: Toward a Stable, Acountable and Responsive Government. Government Information Quartely. 33(1): 1 – 5

Robbins, S. P. (2010). Organizational Behavior, 15th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Mohammad Sodiq
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya