JAYAPURA – Perselisihan hubungan kerja kembali terjadi di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Kali ini melibatkan PT.Rimba Matoa Lestari dengan ratusan karyawanya. Para karyawan ini menuntut hak-haknya setelah mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menurut mereka sepihak.
Atas perselisihan ini, kedua belah pihak memutuskan untuk melakukan sebuah pertemuan atau mediasi yang berlangsung di Polsek Unurum Guay, Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, Rabu (24/02/2021). Dalam pertemuan ini dihadiri kurang lebih 6 orang perwakilan dari PT.Rimba Matoa Lestari dan puluhan perwakilan mantan karyawannya yang didampingi Kuasa Hukum dan para perwakilan pengurus Ikatan Flobamora Provinsi Papua.
Fransiskus Saferius Temiguysa selaku Head Asisten Divisi SSL yang mewakili pimpinan PT.Rimba Matoa Lestari mengakui, pada tangal 21 Januari 2021 lalu sejumlah karyawan yang di-PHK ini melakukan mogok kerja atas dasar permintaan agar penurunan basis tahun tanam 2013 kepada pihak perusahaan atau PT.Rimba Matoa Lestari.
Dirinya menambahkan, mogok kerja ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Dihari ke-empat pihak perusahaan mengambil sikap sesuai perosedur yang ada dengan melayangkan Surat Pangilan (SP) satu.
“Sehari sebelum SP satu ini kami melakukan sosialisasi guna memberikan pemahaman akan tetapi ditolak. Selanjutnya dihari berikutnya tetap tidak masuk kerja dan kembali kami melayangkan SP kedua akan tetapi tidak ada perubahan, hingga mogok kerja berlangsung selama tuju hari berturut-turut pihak perusahaan akhirnya memutuskan untuk di-PHK,” ujar Fransiskus usai mediasi berlangsung.
Menurutnya, keputusan PHK yang diambil perusahaan sudah memenuhi syarat atau sesuai perintah Undang-undang yang berlaku dalam hal ini tidak sepihak atau semenah-menah.
"Pada intinya hasil yang kita bicarakan hari ini akan diteruskan ke pimpinan tertinggi kami, Setelah itu nanti baru kita pastikan apa jawaban yang akan kita berikan,"jelasnya.
Salah seorang Karyawan yang di-PHK, Ruki Ginokio mengakui bahwa mogok kerja yang dilakukan dirinya bersama Rekan-rekanya sebagai bentuk protes atas sikap Perusahaan atas permintaan atau tuntutan yang mereka layangkan terkait Penurunan basis tahun tanam 2013.
"Setiap kali pertemuan jawaban mereka harus menunggu enam bulan baru basis bisa diturunkan, sementara jawaban ini yang sering mereka sampaikan setiap kali pertemuan bawakan sejak tahun 2017 lalu, sehingga kami merasa tidak ada tanggapan yang serius dari perusahaan. Jadi kami merasa dipermainkan, karena hanya suruh menunggu dan menunggu saja," ungkapnya.
Lanjut Ruki, setelah mendapatkan SP satu dari perusahaan kami meminta pihak disnaker Kabupaten Jayapura untuk memediasi dengan pihak perusahaan tetapi tidak ada respon dari Disnaker, tapi tiba-tiba surat PHK ada.
Ruki juga mengakui sangat disayangkan atas sikap intimidasi oleh pihak perusahaan melalui Oknum Aparat keamanan terhadap sejumlah rekan-rekannya sehingga, bahkan saat hendak meninggalkan perusahaan terjadi pengusiran secara paksa.
"Bahakan saat kami menagih upah terjadi intimidasi dari oknum aparat keamanan, kami dipaksa untuk menandatangani surat PHK jika tidak maka upah kami tidak akan diberikan," bebernya.
Kuasa Hukum dari Karyawan yang PHK, Dr. Celcius Jemaru, SH MH mengatakan bahwa langkah awal yang dilakukan saat ini adalah dipartit guna untuk mencari titik temu antara pihak Perusahaan dengan pekerja sawit yang di-PHK.
“Tuntutan dari pekerja ini, mereka meminta hak-haknya sesuai prosedur yang sudah ditentukan perusahaan dan Undang-undang. Termasuk uang ongkos pulang ketika mereka direkrut dari mana mereka berasal. Untuk jawabanya nanti kita tunggu dari pihak perusahaan,” tutur Celcius.
Menurut Celcius, praktek yang dilakukan oleh PT.Rimba Matoa Lestari sebagian besar menyimpang dari Undang-undang Ketenagakerjaan, diantaranya memperkerjakan pekerja yang berstatus harian lepas hingga bertahun-tahun dan masih banyak hal menyimpang yang lainya.
“Ketika langkah ini tidak menghasilakn titik temu maka akan kita lanjutkan ke tingkat tripartit yang nanti akan melibatkan Dinas Ketenagkerjaan terkait. Tapi jika perusahaan tidak mau persolan ini berlarut-larut diharapkan secepatnya apa yang menjadi tuntutan pekerja saat ini segera dipenuhi,” ungkapnya.
Menurut Celcius data sementara dari jumlah keseluruhan pekerja yang di-PHK sebanyak 106 orang akan tetapi dari pengakuan pihak perusahaan hanya 55 orang, lalu dari 55 orang ini hanya 10 orang yang berstatus karyawan tetap dan selebihnya sebagai karyawan harian lepas atau bukan pegawai tetap.
“Anehnya, berdasarkan pengakuan pihak perusahaan hanya 55 orang pekerja saja, sementara yang 51 orang lainnya tidak diakui tetapi lucunya lagi hasil kerja merak diakui. Inikan suatu bentuk penyimpangan yang dinilai cukup berat juga dan yang pasti akan kita telusuri lebih lanjut,” paparnya.
Celcius juga menegaskan bahwa, keluarga besar Flobamora Provinsi Papua dilangkah awal ini masi memilih jaur damai dan berharap ditingakt dipartit ini sudah ada titik temu. Tetapi jika perusahaan tetap pada pendirianya maka pihaknya akan siap hadapi persoalan ini hingga ke ranah hukum bahkan sampai hukum tertinggi (MK).
Perlu diketahui bahwa sebanyak 106 orang pekerja sawit yang di PHK PT.Rimba Matoa Lestari ini merupakan warga Nusa Tengara Timur (NTT) yang direkrut langsung oleh PT.Rimba Matoa Lestari sendiri.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : |
Editor | : |
Komentar & Reaksi