PALEMBANG- Pelecehan perempuan dan anak di lingkungan akademik tengah menjadi polemik setelah kasus yang menimpa mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) mencuat ke permukaan.
Sederet kasus lainnya pun bermunculan seakan pelecehan seksual tengah menjadi wabah. Padahal, kasus serupa juga pernah terjadi di masa lalu, tetapi saat itu tak banyak korban berani melaporkannya.
Pengakuan seorang perempuan yang tidak mau disebut namanya mengaku pernah mengalami pelecehan dari gurunya saat dia duduk di bangku SMP. Modus yang dilakukan adalah dengan bimbel privat berlokasi di kediaman guru tersebut.
Guru tersebut tiba-tiba mengecup pipi korban, yang kemudian membuatnya ketakutan. Meskipun korban melaporkan kejadian tersebut kepada orangtua, pihak keluarga memutuskan tak melaporkannya karena dinilai akan merusak citra sekolah. Akhirnya, kasus tersebut terkubur dan hanya menyisakan trauma mendalam bagi korban.
Ketika itu media sosial memang belum segencar era modern ini. Berbeda dengan zaman digital saat kasus pelecehan justru kerap terpergok melalui media sosial atau sengaja dibuka dan disebarkan kepada publik untuk menarik perhatian. Yang ironis, setelah menjadi viral, barulah aparat hukum aktif menyelidiki kasus tersebut.
Tak ada tempat aman
Kini, setelah lebih dari satu dekade kemudian, kasus yang menimpa mahasiswi Unsri seakan menjadi bukti nyata yang tak terelakkan, bahwa tak ada tempat yang benar-benar aman, khususnya bagi perempuan. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi pusat peradaban belum tentu memberikan rasa aman yang sebenarnya.
Beberapa kali, kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan sekolah dan kampus. Pelakunya pun beragam, dari dosen, tenaga pendidik, mahasiswa, bahkan buruh bangunan. Belum lama ini, misalnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali mengungkap kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi Universitas Udayana (Unud).
Selama tahun 2020, setidaknya terjadi 42 laporan kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi. Pelakunya sebanyak 34 orang mahasiswa, 5 dosen, 1 pedagang sekitar kampus, dan seorang buruh bangunan di kawasan kampus. Dari jumlah kasus ini, tak ada satu pun yang masuk ke ranah hukum maupun ditindaklanjuti oleh pihak kampus.
Cenderung diam
Dalam sebuah tulisan berjudul “Kampus Cenderung Menutupi Kasus-Kasus Pelecehan Seksual” yang terbit tahun 2018 di Tirto.id, Ikhaputri Widiantini seorang pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), memaparkan fakta menyedihkan.
Satu tahun sebelum artikel tersebut diunggah, yaitu pada tahun 2017, perempuan yang akrab disapa Upi itu pernah mempresentasikan makalah yang mengambil topik kekerasan seksual dalam institusi pendidikan.
Dia pun mencantumkan sejumlah pengakuan para penyintas yang berstatus mahasiswi. Upi mengaku khawatir dan fokus mendiskusikan isu ini karena kebanyakan kampus masih gagal paham menjalankan perannya, yakni peran dalam menciptakan lingkungan aman dan suportif bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di kampus, lanjut Upi, hanya 1 dari 10 laporan yang berhasil mendapat perhatian dan pelaku dikenakan sanksi.
Masalah mindset
Melalui pengakuan mahasiswinya, Upi beberapa kali mendapatkan cerita buruk dari mahasiswinya yang dilecehkan dosen. Semua cerita ini menjadi rahasia antara Upi dan mahasiswinya tersebut karena dia sangat menghargai privasi mereka yang belum siap untuk membuat laporan resmi.
“Karena dosen yang melakukan ada mengajar khusus di prodi itu. Kalau sampai dia dilaporkan, katanya, kasihan nanti yang mau ambil tema itu nanti enggak ada pembimbing. Mindset masih gitu, kasihan dosen, kasihan mahasiswa lain yang nanti enggak bisa bimbingan tema itu,” papar Upi.
“Ada yang merasa berlebihan aja, tapi dia sebenarnya enggak nyaman. Jadi paradoks. Lebih banyak yang malu karena takut dianggap saya yang mancing pelaku. Dia udah victim-blaming dirinya sendiri. Biasanya kalau udah gitu, gue enggak bisa paksa mereka untuk mengadu. Tapi gue terlibat dalam upaya menghilangkan victim-blaming dalam dirinya itu. Edukasinya tetap ada,” lanjut dia.
Upi berujar, dalam lingkup kampus sendiri, tak mudah untuk mengangkat laporan pelecehan seksual untuk ditindaklanjuti. Dia menilai hal ini terjadi karena mindset kampus yang beranggapan bahwa pelecehan seksual adalah aib.
“Sebenarnya, dalam opini gue, mindset kampus: kalau pelecehan seksual malah dianggap aib berarti kampus sudah menyalahgunakan posisi mereka sebagai penjamin kenyamanan itu sendiri. Maka, seharusnya isu mengenai pelecehan seksual itu diangkat dan diutamakan dulu supaya mereka yang merasa mengalami, merasakan aman dulu,” ujarnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Imam Hairon |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi